Rabu, 26 November 2008

Kata guru ; Untuk pemakamanku,
Ambilah genderang, rebana, dan gendang
Wahai teman-temanku,
Bergembira, bersuka ria, bertepuklah! (V 1112)
Pemakaman sang pandai emas pun bertabuh menjadi tarian berputar (sama), untuk memenuhi keinginannya sendiri, seperti dituturkan putranya Sultan Walad
Jiwa jamaah ini maju terus
Selangkah demi selangkah menuju jamaah,
Matahari di keningnya, dan ditangannya
Cawan demi cawan......(D 1583)
Nama Husamuddin disebutkan, dan dalam sebuah syair liris lainnya namanya muncul secara jelas dan kadang-kadang tersembunyi, seperti dalam lagu tarian suka cita berikut ini yang berakhir dengan permainan kata-kata:
Jika kau adalah sebuah nama-kini nama itu
Bercampur dengan yang dinamai
Tidak! Nama itu bagaikan sarung, dan yang dinamai
Adalah pedangnya (Husam).
Pada akhirnya Maulana menggunakan bahasa Arab:
Wahai Husamuddin, tuliskan penjelasan
Tentang Sultan Cinta (yaitu Syamsuddin). (D 738)
Karenanya, dia tampil sebagai bagian dari kepribadian Syams dan dengan begitu dapat diserahi tugas untuk menyimpan rahasia, seperti yang ditulis Maulana dalam Diwan:
Lebih baik jika sahabat tetap tertabiri!
Mari, dengarkan kisah ini:
Lebih baik misteri ini diceritakan
Dalam kisah orang lain, kisah lama! (M; 141)
Permintaan Husamuddin tentang Syams ditolak oleh Maulana yang akhirnya menenangkannya dengan baris-baris ini:

Wahai yang namanya adalah makanan lezat
Bagi jiwaku yang mabuk! (D 2229)
Namyn, di akhir karya itu, Maulana bercerita tentang Zulaikha, istri Potiphar dan kerinduannya kepada Yusuf yang tampan
Jangan menangis: "Aduhai kenapa pergi!"
Dalam pemakamanku
Bagiku, inilah bahagia!
Jangan katakan, "Selamat tinggal"
Ketika aku dimasukkan ke liang lahat
Itu adalah tirai rahmat yang abadi! (D911)
Dia juga menghibur teman-temannya dengan memperingatkan mereka bahwa kematian bukan perpisahan, tetapi pembebasan bagi burung jiwa:
Bila gandum dari debuku,
Dan bila dimasak jadi roti-kemabukan
Akan bertambah.
Adonan; mabuk!Dan tukang roti!
Ovennya pun akan menyanyikan mazmur
Yang ekstatis!
Bila Datang ke makamku untuk mengunjungiku
Jangan datang ke makamku tanpa genderang,
Karena pada perjalanan Tuhan,
Orang yang berduka tidak diberi tempat (D 683)
Dan dia berkata dengan penuh semangat kepada mereka:





Penduduk Kota, tua dan muda
Semuanya meratap, menangis, mengeluh keras,
Orang-orang desa, orang-orang Turki dan Yunani,
Mereka mencbik-cabik pakaian mereka
Karena perasaan sedih
Atas meninggalnya orang yang agung ini’
"Ia adalah Musa!"
Kata orang-orang yahudi.....(VN 121)
Maulana meninggal dunia pada senja hari, 17 Desember 1273, dan setiap orang di Konya-baik yang kristen, Yahudi, maupun muslim-menghadiri pemakamannya, seperti yang dikatakan oleh putranya
Di manakah aku, di manakah puisi?
Tetapi orang Turki membisikiku:
Hai, siapakah engkau? (D1949)
Bait diatas, yang ditulis dalam bahasa Turki, mengungkapkan sikap Maulana terhadap syairnya sendiri
Simpanlah kata-kata Persiamu,
Aku akan berucap dalam bahasa Arab:
"Jiwa kita dihibur oleh anggur."
Dikisahkan Syams sama sekali tidak menyukai puisi-puisi itu dan mengungkapkan ketidaksukaannya ini kepada sahabatnya dalam suatu ini kepada sahabatnya dalam mimpi yang aneh dimana Syams mengguncang-guncangkan Mutannabi yang tua itu bagaikan boneka usang. Namun, masih saja orang mendapati kiasan-kiasan dan kutipan-kutipan yang berasal dari Mutannabi dalam syair-syair Maulana dan juga dalam Fihi ma fihi, seperti dalam syair penutup dari sebuah ghazal
Sahabatku yang seorang tabib mengisi cangkir
Tinggalkan
Fa’iliun mufta’ilun dan fa’ilatun dan fa’i
Dia mengisi suatu baris dengan kata-kata bahasa Arab yang menarik perhatian untuk matra, fa’ilatun mufta’ilun "ini telah membunuhku", atau dia berkata dengan akhiran (ending) bahasa Arab
Separuh dari ghazal belum lagi terucap dari mulutku
Tapi sayang,aku telah kehilangan kepala
Dan kaki! (D 2378)
Di tempat lain dia mengeluh
Tanpa kehadiranmu,
Sama (tarian berputar) itu haram...
Tak satu ghazal pun terucap tanpa kehadiranmu,
Namun, dalam kesukaan mendengar namamu (disebut)
Lima, enam ghazal tercipta. (D 1760)
Orang sering kali tergoda untuk bertepuk tangan dan menafsirkan kembali irama musiknya, dan irama musiknya inilah yang melahirkan syair ini atau itu.
Musim semi telah datang, musim semi telah datang,
Musim semi yang penuh dengan bunga-bunga
Telah datang.
Kawanku telah datang, kawanku telah datang,
Kawanku yang memikul beban telah datang ...
Muncunya puisi dari gerakan tarian ini juga menjelaskan kecenderungan Maulana pada pengulangan dan anafora-anafora yang panjang
Mari,mari kasih, mari kasih,
Masuk, masuklah ke dalam karyaku,
Ke dalam karyaku!
Kau, kaulah taman mawarku, taman mawarku;
Katakan, katakanlah rahasiaku, rahasiaku.
Dalam nada yang lebih kuat, tampak pada puisi
Kudengar omong kosong yang diucapkan oleh musuh,
Dalam hatiku. (D 1623)
Dalam beberapa hal tertentu, kita mengetahui bagaimana suatu kesan sensasional dapat melahirkan baris pertama dalam puisi, seperti ketika seseorang mengobrol dalam pertemuan sama’ telah membuat Rumi merasa terganggu

Dil ku? Dil ku?
Di mana hati? Dimana hati?
Kisah tentang seorang penjaja barang yang melewati rumah Maulana dengan membawa kulit serigala untuk dijual. Teriakannya dalam bahasa Turki: "tilku, tilku" (serigala-serigala!), segera memberikan ilham kepada Maulana untuk menulis sebuah puisi yang dimulai dengan kata-kata diatas
Pada suatu hari seorang kurdi kehilangan keledainya
atau kalau mungkin dia bertanya:
Apa yang kaumakan?Biarkan aku menciumnya!
Dalam banyak puisi, baris pertama bersifat provokatif. Hal ini dimaksudkan untuk menarik perhatian pendengarnya. Penyair dapat mengacu pada kisah yang lucu:
Cukup, cukup! Kau cuma kuda seorang penjaja air,
Bila telah didapatkannya seorang pembeli,
Maka diambilnya lonceng kecil
Yang terkalung di leher (kuda) itu. (D 25)
Tampaknya kecenderungan untuk menyuruh orang diam ketika inspirasi datang, atau ketika merasa sudah cukup banyak berbicara, merupakan bagian dari suatu inspirasi
Apakah ini Sinar Ilahiah?
Apakah ini datang dari dekat Tuhan? (D 2279)
Puisi-puisi terdahulu tak pernah menyebut nama Syamsi Tabriz secara langsung tetapi mengiaskannya secara halus dengan Matahari atau permainan dengan istilah-istilah astronomi
Aku baca kisah cinta itu siang dan malam
Kini, aku akan menjadi sebuah kisah dalam cintaku
Kepadamu (D 1499)
Kadang-kadang Maulana merenungi arti puisi. Mengapa dia sendiri merasa terdorong untuk mengutarakan semua syair ini?



Setiap utas rambutku telah berubah
Menjadi syair dan ghazal
Berkat cintamu. (D2329)
Tentu saja dia menyadari sumber inspirasi:
Beri aku ciuman untuk setiap puisi!
Kadang-kadang dia bercanda dengan yang dicintai yang telah memintanya membawakan sebuah puisi
Aku katakan "empat syair", tetapi ia mengatakan,
"Tidak, sesuatu yang lebih baik!"
Baik-tetapi sebelumnya beri aku anggur yang keras! (D 2080)
Dalam puisi lain dia mengatakan
Kalau aku tidak melantunkan sebuah ghazal,
Dia robek mulutku!
Kadang-kadang dia mengeluh bahwa walaupun dia tidak ingin menyanyi,
Bulan pribadi itu wajahnya,
Syair dan ghazal itu aromanya-
Aroma itu bagian dia yang tak kenal melihat (D 468)
Salah satu perbandingan terbagus adalah perbandingan puisi dengan aroma baju Yusuf
Entah kau itu Arab atau Yunani atau Turki-
Pelajarilah lidah tanpa lidah! (D 1183)
Rumi memahami bahwa bahasa menyembunyikan sebanyak yang diungkapkan
Seruku: "Ke mana perginya hati yang mabuk?"
Kata rajanya raja: "Diamlah, ia menuju kami!"
Dan ketika penyair mencari dalam hatinya, dia diperingatkan agar diam:
Tanpa katamu, jiwa tak bertelinga,
Tanpa telinga, jiwa tak berlidah...(D 697)
Berkali-kali Maulana mengatakan:

Kuberpikir tentang sajak,
Tapi sang tercintaku bilang:
"Jangan memikirkan apa-apa,
Pikirkan saja wajahku!"
Dalam Matsnawi dia mengakui:
Kala kucari damai,
Dialah penolong sejati
Kala kupergi berperang,
Belati, itulah dia;
Kala ku pergi ke pertemuan,
Dialah anggur dan manisan.
Kala aku ketaman,
Keharuman itulah dia.
Kala aku ke pertambangan,
Dialah batu deliama disana.
Kala aku menyelam ke lautan,
Dialah mutiara.
Kala aku ke gurun,
Dialah taman disana.
Kala aku ke langit,
Dialah bintang terang...
Kala kutulis surat
Ke sahabat-sahabat tercintaku,
Kertas dan tempat tinta,
Tinta, pena, itulah dia.
Kala kutulis syair
Dan kucari syair
Dan kucari kata bersajak
Yang membentangkan sajak-sajak
Dalam pikiranku, itulah dia! (D 2251)
Persatuan penuh dengan sang tercinta mistis, yang menjadi dasar dari sedemikian banyak syair, terungkapkan dalam sebuah ghazal yang memesonakan
Kuh kun az kullaha...
Ciptakan gunung tengkorak,
Ciptakan lautan dan darah kita... (D 1304)
Ada baris-baris seperti diatas yang menakutkan dengan efek literasi yang keras sekali
Demi macan tutul (palang) keagunganmu,
Demi buaya (nihang) kecemburuanmu,
Demi landak kecil (khadang)
Pandangan sekilasmu, (D 772)
Dia sering menggunakan perkataan jenaka dan bersumpah
Di tapak tangan kami ada anggur (bada)
Dan kepala kami ada angin (bad), (D 7723)
Dia mengeluh (atau berbangga, barangkali?)
Hai, tuan, burung macam apa kamu?
Namamu? Untuk apa kamu?
Kau tak terbang, kau tak merumput,
Kau burung kecil!
Kau bagaikan burung unta. Ketika diperintah,
"Ayo terbang!" kau akan bilang,
"Aku unta Arab!-kapan
Unta pernah terbang?"
Kala tiba waktunya untuk membawa muatan,
Kau bilang, "Tidak, aku ini burung!
Kapan burung membawa muatan? Tolong,
Jangan lagi ucapkan kata-kata menyebalkan ini!" (D 2622)
Sindiran tentang seseorang yang tidak dapat percaya
Untuk apa takut pada sengatan kalajengking,
Duhai bulan,
Sebab aku tenggelam dalam madu, seperti lebah? (D 1015)
Juga, bisa dijumpai kiasan-kiasan tersembunyi mengenai tradisi atau folklore (hikayat)
Karena kusebut-sebut untanya pada baris pertama,
Dan akhirnya unta itu panjang. (D 1828)
Dia akan berkelakar bahwa syairnya bertele-tele jadinya:
Kalau bicaraku tak pantas bagi bibirmu,
Ambillah batu besar, lalu remukkan mulutku!
Bila bayi mengoceh, bukankah ibu yang baik
Meletakkan jarum dibibirnya
Sebagai pengajaran baginya? (D 2083)
Kelihatannya daya ungkapan itu kadang-kadang nyaris menakutkan penyair itu sendiri. Dia bahkan takut, jangan-jangan dia melukai perasaan sang sahabat
Tinggalkan ghazal-
Tetaplah pada azal (pra keabadian). (D 2115)
Dia memperingatkan dirinya sendiri di akhir sebuah ghazal
Taman bunga mawar dan tumbuhan basil
Yang manis, segala macam anemone
Tempat tumbuhan bunga violet pada debu,
Dan angin serta air dan api, duhai hati!
Tanah-tanah kosong di kota dipenuhi dengan tanaman semak kacang polong; lalu berbagai dedaunan akan tumbuh di tepi sungai-sungai yang mengalir ke lereng gunung di Meram
Salju selalu berkata: "Aku akan meleleh,
Menjadi sungai,
Aku akan ke laut, sebab aku bagian dari lautan!
Aku sendirian, keras, lagi membeku,
Dan lagi gigi penderitaan dikunyah seperti es!" (D 1033)
Ungkapan tentang taman kepunyaan Husamuddin Syalabi
Dalam kefanaan penuh aku berkata:
"Duhai rajanya raja, semua citra meleleh
Dalam api ini!"
Dia berkata: "Sapaanmu tetap merupakan sisa
Salju ini-
Selagi ada salju, tersembunyilah bunga mawar merah!" (D 1033)
Maulana mengerti bahwa sedikit saja condong pada kehidupan materi bisa menghalangi manusia dari sepenuhnya persatuan dengan sang Tercinta
Bawang, bawang bakung dan bunga apiun
Akan mengungkapkan rahasia musim dingin-
Sebagian akan segar
(harfiahnya "dengan kepala berwarna hijau"),
Sebagian lagi menundukkan kepala
Seperti bunga violet! (M V 1801)
Ini bukanlah perkataan Rumi melainkan perkataan penafsir modernya yang utama, Muhammad Iqbal. Dalam perubahan ini, yaitu dari khalwah ke jilwah, Muhammad Iqbal melihat rahasia sejati kehidupan manusia
Kalau burung gagak tahu bahwa dirinya buruk,
Ia akan meleleh seperti salju karena sedih!
Selama musim dingin, benih-benih yang tampak berjejalan di bawah debu mempersiapkan kebangkitan-kembalinya pada musim semi
Burung bangau "Jiwa" telah tiba;
Telah tiba pula musim semi!-dimana kamu?
Dunia semarak dengan dedaunan
Dan bunga mawar nan cantik! (D 25854)
Orang amat senang menyaksikan petunjuk hidup bahwa musim semi sudah dekat
Wajah air yang bak berisi di musim dingin
Telah menjadi baju rantai (lemena) berkat angin-
Musim semi yang baru ini
Bisa jadi Daudnya masa kini,
Yang menenun lemena dari es! (D 2120)
Ketika mentari sudah masuk ke dalam Aries, maka musim semi, seperi nabi, dapat memperlihatkan mukjizatnya; mukjizat yang hanya dimiliki oleh nabi-nabi seperti Daud
Tanpa kedua mata-dua awan-penerang hati:
Api ancaman Tuhan, mana mungkin terpadamkan?
Bagamana dedaunan akan tumbuh dari persatuan,
Yang manis rasanya?
Bagaimana mata air akan memancarkan air murni?
Bagaimana tempat tumbuhnya belukar bunga mawar
Akan membeberkan rahasianya
Kepada padang rumput?
Bagaimana bunga violet akan membuat ikatan
Dengan bunga melati?
Bagaimana pohon plane
Akan mengangkat tangan-tangannya dalam doa?
Bagaimana pucuk-pucuk pohon
Akan meliuk-liuk di udara Cinta?
Bagaiman bunga-bunga
Akan mengguncang-guncangkan lengan bajunya
Pada musim semi
Untuk menebarkan butiran-butiran indahnya
Di taman yang luas?
Bagaimana pipi bunga tulip akan merah warnanya
Seperti api dan darah?
Bagaimana bunga mawar akan mengulurkan emasnya
Dari pundi-pundinya?
Bagaimana burung bulbul
Akan mengendus keharuman bunga mawar?
bagaimana suara merpati
Akan seperti sang pencari "Dimana,
Duhai dimana?"
Bagaimana burung bangau akan mengulang
Lak-laknya dari jiwanya,
Untuk mengatakan: "Duhai Yang Maha Penolong,
Milik-Mulah kerajaan, milik-Mulah!"
Bagaimana debu akan mengungkapkan rahasia hatinya?
Bagaimana langit
Akan menjadi taman yang mandi cahaya? (M II : 1655-64)
Bagaimana alam pada musim semi amat serupa dengan perilaku manusia
Engkaulah langitku, dan aku buminya,
Yang kebingungan
Apa yang membuatmu terus mengalir dari hatiku?
Akulah tanah berbibir kering!bawakan air
Yang akan menumbuhkan bunga mawar dari tanah ini!
Bagaimana bumi tahu
Apa yang dikau taburkan dalam hatinya?
Karena kamulah, tanah ini mengandung,
Dan kamu pun tahu bebannya! (D 3048)
Rumu menspiritualisasikan dan, menerapkannya pada keadaannya sendiri
Ranting pun mulai menari seperti orang yang bertobat
(yang baru saja menapak dijalan tasawuf),
Dedaunan pun bertepuk tangan
Seperti penyanyi pengembara (M IV 3264)
Karunia itu dari Tuhan, namun orang
Takkan menemukan karunia tanpa tabir "Taman" (M V 2338)
Semua bunga mawar, meski sisi luarnya
Kelihatan seperti duri;
Itulah cahaya dari Belukar Terbakar,
Meski keliatannya seperti api! (D 859)
Seperti kucing yang membawa anaknya
Dengan mulutnya
Kenapa tak kau lihat ibu-ibu ditaman? (D 2854)
Maulana memandang taman dengan mata cinta dan mengajak teman-temannya untuk bersama-sama mengagumi tunas-tunas yang baru tumbuh
"Kami menyembah-Mu!"-itulah doa taman
Dimusim dingin.
"Kami minta tolong hanya pada-Mu!"
Itulah rengeknya di musim semi.
"Kami menyembah-Mu!-itu arti aku datang
Memohon pada-Mu:
"Jangan tinggalkan diriku dalam kesedihan ini, Tuhan,
Bukalah lebar-lebar pintu kegembiraan!
"Kami minta tolong pada-Mu, Tuhan"-yaitu
Kelimpahan buah yang masak lagi manis rasanya.
Nah patahkanlah dahan dan rantingku-
Lindungilah daku, Ya Alloh Ya Tuhanku! (D 2046)
Kamilah bayi merpati
Yang berada dalam perlindunganmu,
Kami kelilingi serambi rerantingan (D 1673)
Kisah pemimpin spiritual-unta itupun bergerak gembira mengarungi padang pasir dan stepa:
Lihatlah anting-anting hidung pencinta di tanganmu
Siang malam aku ada di barisan unta ini! (D 302)
Di taman ada beratus-ratus kekasih nan menawan
Bunga mawar dan bunga tulip menari berputar-putar
Di anak sungainya mengalir air bening,
Semuanya ini hanyalah helat (dalih)-itulah Dia!
Jika itu kedengarannya penteistik, akan timbul pertanyaan mengapa putra Maulana, yang sekaligus penulis riwayat hidup Maulana, yaitu Sultan Walad, menjelaskan pandangan ini:
Barang siapa memiliki cahaya yang dimiliki malaikat, dia tidak akan tertegun dengan lempung Adam, malahan dia melihat dalam diri Adam cahaya Tuhan, Memang barang siapa semakin sempurna, dia akan melihat dalam batu, jerami, kayu, dalam segala sesuatu dan dalam atom, adanya Tuhan, seperti yang dilihat dan diucapkan Bayazid: "Tidak pernah aku melihat sesuatu tanpa kulihat di dalamnya Tuhan." (VN 171)
Taman dan buah-buahan ada dalam hati
Dalam air dan lempung ini yang ada
Hanyalah pantulan kemurahan hati-Nya (M IV 1357f.)
Namun baris sajak yang terakhir ini tidak seperti ini tidak sepenuhnya mencerminkan sikap personal Maulana. Sebab;
Berkat pandangan mentari,
Tanah menjadi tumbuhnya bunga tulip
Kini duduk di rumah adalah bencana, bencana! (D 1346)
Segala yang dapat kamu pikir itu fana.
Yang tidak dapat terpikirkan, itulah Tuhan! (M II 3107)

Tidak ada komentar: