Minggu, 30 November 2008

Akulah Angin Engkaulah Api

Akulah Angin Engkaulah Api

Diambil dari buku Akulah Angin Engkaulah Api (hidup dan karya Jalaluddin Rumi), Pengarang Annemarie Schimmel, Mizan, 2005

*PERJALANAN MENUJU RUMI

Mari ke rumahku, Kekasih –sebentar saja!

Gelorakan jiwa kita, Kekasih-sebentar saja!

Dari Konya pancarkan cahaya Cinta

Ke Samarkand dan Bukhara sebentar saja!

Itulah dendang Maulana Jalaluddin Rumi. Impiannya bahwa cahaya cinta akan bersinar dari Konya ke Samarkand dan Bukhara “sebentar saja” lebih dari sekadar tercapai, dimana syair-syair Rumi diperkenalkan lewat terjemahan orientalis Jerman dan Inggris sejak awal abad ke-19

Bila Kematian itu manusia

Yang dapat kupeluk erat-erat!

Aku kan mengambil darinya jiwa, yang bersih dan tak berwarna;

Dan ia akan mendapatkan dariku jubah berwarna hanya itu! (D 1326)

Jika kita berdiri di tengah-tengah nisan-nisan kuno ini, rasanya kita seperti mendengar kata-kata yang diucapkan oleh Rumi untuk menghibur temannya selama akhir masa sakitnya, pada musim gugur 1273

Aku telah begitu banyak berdoa

Hingga aku telah berubah

Menjadi doa itu sendiri

Setiap orang yang melihat diriku

memohon doa dariku ( D 903 )

Betapa seringnya Maulana Rumi berdiri ditempat ini ketika shalat Jum’at! Shalat adalah pusat kehidupannya, bukan shalat yang ditunaikan hanya dengan bibir dan kaki tangan, melainkan shalat yang memiliki arti penyatuan diri dengan Ilahi Tercinta.Bait ini merupakan potret diri yang paling sejati dari seorang sufi besar.

Hati itu seperti butir biji, dan kita seperti kincir.

Katakan, apakah kincir itu tahu

Mengapa ia berputar?

Tubuh ini ibarat batu, air adalah pikiran

Batu itu berkata: “Oh, air itu mengerti!”

Air berkata: “Tidak, tolong tanyakan pada kincir

Ia telah mengirimkan air ke lembah-tanyakanlah apa sebabnya!’

Kincir berkata: “Hai pemakan roti!-Haruskah ini berhenti

Maka katakanlah, apa yang dilakukan oleh pembuat roti?...” (D 181)

Di Meram kita dapat melihat sebuah sungai kecil, di tepi sungai itulah Maulana sering bertamasya bersama-sama murid-muridnya, suara kincir air dan gemuruhnya air sungai sering mengilhaminya untuk berputar-putar atau membawakan syair-syair yang menunjukkan bahwa suara kincir dan gemuruhnya sungai menjadi lambang kehidupan;

Lihatlah, aku telah banyak mencoba,

Dan mencari dimana-mana

Tetapi tak pernah kutemukan seorang sahabat

Seperti dirimu.

Aku telah mencoba setiap pancuran,

Setiap butir anggur,

Tetapi tak pernah

Merasakan kenikmatam minuman anggur

Semanis dirimu....

Ada orang-orang yang masih menjalankan tradisi, yang tidak hanya membaca Matsnawi, memainkan seruling dan senang menulis kaligrafi untuk mengenang Maulana, tetapi mereka yang sudah “masak”-yang dengan kata lain, mempunyai jiwa yang matang sehingga mereka benar-benar menjadi murid-murid sejati Maulana,sebagai perwujudan Cinta Ilahi yang dipancarkan dalam hidupnya dan dalam karya-karyanya. Dan pengunjung akan menyebut Rumi seperti yang pernah dilakukan penyair ini kepada kekasihnya

*JALAN MENUJU KONYA

Pergilah ke pangkuan Tuhan,

Dan Tuhan akan memelukmu dan menciummu,

Dan menunjukkan

Bahwa Ia tidak akan membiarkanmu lari dari-Nya.

Ia akan menyimpan hatimu dalam hati-Nya,

Siang dan malam (Ma’arif, h. 28)

Sesungguhnya dia telah mengalami tahapan mistik tertinggi, sesuatu yang sensual, suatu cinta yang sempurna kepada Tuhan, sampai dia berada dalam pelukan-Nya, dan dia menyadari aktivitas mencintai Tuhan ini, “kebersamaan” dengan segala sesuatu (maiyyah) dalam kehidupan segala yang tercipta

Seseorang berkata: “Wahai, Tuanku Sana’i

Telah meninggal dunia!”

Aduhai, kematian orang semacam itu

Bukan hal yang sepele!

Ia bukan sekedar benang yang terbang

Bersama angin,

Ia bukan air yang membeku karena dingin,

Ia bukan sisir yang patah di rambut,

Ia bukan butiran yang hancur di dalam tanah.

Ia adalah emas yang ada dalam tebu... (D 1007)

Burhanuddin membimbing murid-muridnya melakukan latihan-latihan tasawuf yang telah digeluti selama empat abad terakhir oleh para sufi dan mengirimnya satu dua kali ke damaskus, dimana banyak sufi, termasuk Ibnu Arabi menetap ditempat itu.

Citra impianmu ada di dada kami

Sejak fajar kami sudah dapat merasakan sang surya (D 2669)

Syams adalah matahari yang luar biasa, matahari yang mengubah seluruh hidupnya, membakarnya, membuatnya menyala, dan membawanya kedalam cinta yang sempurna.

Wajahmu bak sang mentari, Wahai Syamsuddin

Yang dengannya hati berkelana bagai cawan!

Jalaluddin dan Maulana tak terpisahkan lagi; mereka manghabiskan hari-hari bersama, dan menurut riwayat, selama berbulan-bulan dapat bertahan hidup tanpa kebutuhan-kebutuhan dasar manusia ketika bersama-sama menuju Cinta Tuhan

Namun, tiba-tiba muncul kecemburuan Tuhan

Dan mulut-mulut menjadi kasak-kusuk

Penduduk Konya tidak suka melihat pengaruh Syams pada maulana, pada suatu hari, diapun menghilang dengan misterius; semisterius kedatangannya.

Aku adalah zahid yang pandai, orang yang berjuang

Kawanku yang sehat,

Katakan mengapakah kau terbang

Seperti burung? (D 2245)

Jalaluddin merasa patah hati. Karena terpisah dari mataharinya, apa yang dilakukannya? Namun, pada saat inilah dia mulai berubah; dia menjadi seorang penyair, mulai mendengarkan musik, menari berputar-putar, selama berjam-jam. Dia sendiri tidak tahu apa yang terjadi

Aku menulis seratus surat,

Aku menulis seratus jalan-

Tampaknya tak kau baca selembar surat pun,

Tampaknyatak kau ketahui satu jalan pun! (D 2572)

Dia mencoba menulis surat tentang Syams, tetapi darwis itu menghilang tak tentu rimbanya dan jawaban pun tak kunjung tiba.

Siapa yang mengatakan bahwa Yang Kekal Abadi itu

Telah mati,

Siapa yang mengatakan bahwa Mentari Harapan

Yang disana telah mati

Ia adalah musuh Matahari; mendaki ke atas atap,

Ia menutupi matanya dan menangis;

“Sang Mentari telah mati!” (D Rub. No. 534)

Pada suatu malam, 5 Desember 1248, ketika Maulana dan temannya itu sedang berbicara, Syams dipanggil ke pintu belakang. Dia melangkah keluar dan tak pernah kembali. Maulana pasti dapat merasakan apa yang telah terjadi, tetapi tidak mau percaya bahwa temannya itu hilang.

Malam berpakaian hitam,

Untuk menunjukkan duka citanya

Bagaikan istri yang bergaun hitam

Setelah suaminya menjadi debu! (D 2130)

Syams tak pernah kembali; dan apakah hidup ini tanpa sang Matahari? Semesta alam tampaknya turut berduka cita bersama Maulana;

Bila orang itu mengatakan,

“Aku telah melihat Syams!”

Maka tanyakanlah,

“Kemanakah jalan menuju surga?”

Adakah sesuatu yang tersisa selain kehitaman etelah Matahari terbenam?Ketika seorang menyatakan bahwa ia telah melihat Syams, Maulana menjawab

Ia berkata: “Karena aku adalah dia,

Apa gunanya mencari?

Aku sama dengan dia, zatnyalah uang berbicara!

Sebernarnya yang kucari adalah diriku sendiri,

Itu pasti.

Yang mencari dalam tong, bak air anggur.”

Dengan harapan yang tak mungkin terjadi, Maulana pergi ke Suriah. Akan tetapi, kemudian “dia menemukannya dalam dirinya, bersinar bak rembulan”.

Aku terus bernyanyi bersama orang lain

Syamsuddin dan Syamsuddin,

Bul-bul di taman pun ikut bernyanyi,

Ayam jantan di perbukitan. (D 1081)

Sebelumnya, dia telah menyadari bahwa dia tak dapat lagi menyembunyikan nama Syams dan merasa bahwa semesta alam memuji sahabatnya bersama-sama dengan dirinya

Engkaulah Mentari, kamilah embun

Kau membimbing kami

Ke tempat yang paling tinggi! (D baris ke-35816)

Dia merasa Syams sedang menyalurkan gelombang rahmat tersebut

Karena aku hamba Sang Mentari,

Aku berbicara hanya tentang Mentari! (D 1621)

Dan segenap keberadaan sang penyair merupakan saksi bagi Syams walaupun lidahnya diam;

Tak Patutkah bila aku memanggilmu banda

[“abdi”, manusia]

Tapi aku takut memanggilmu Tuhan, khuda! (D 2678)

Karena perasaan inilah, dia menyebut-nyebut Syams dengan kata-kata yang terdengar menghina Tuhan sebab yang dilihatnya dalam diri temannya itu hampir-hampir manusia yang bersifat Ilahiah

Syamsulhaqq [Mentari kebenaran Ilahi]

Bila kulihat di cermin yang jernih

Apapun kecuali Tuhan, aku lebih buruk

Daripada seorang kafir! (D 1027)

Syair-syair semacam ini tentu saja membuat rakyat Konya marah. Akan tetapi, bagi Maulana tak ada keraguan:

Apakai ini kekafiran atau islam, dengarlah:

Kamu itu sinar Tuhan atau Tuhan, khuda (D 2711)

Dan meski dia menyadari posisinya yang sulit, dia berseru dlm baris diatas

Engkaulah sinar yang berkata kepada Musa:

Akulah Tuhan, Akulah Tuhan, Akulah Tuhan! (D 1526)

Dan dia mempertegas pernyataannya dalam baris-baris diatas

Ketika kau membaca “Demi Cahaya Pagi”,

Pandanglah Mentari!

Syam adalah orang yang mengetahui misteri-misteri yang ada pada Rasulullah. Itulah sebabnya tarian mistis, yang dilakukan oleh para darwis hingga masa sekarang ini, selalu dimulai dengan suatu himne mengenang Rasulullah yang berpuncak dalam puji-pujian kepada Syamsuddin

Ketika aku tidur di jalan temanku,

Pleiades (sekelompok bintang-penerj,)

Adalah bantal dan selimut bagiku (D 364)

Seluruh alam tampaknya mencintai kedua orang ini; dan nama teman yang dicintai itu mempunyai kekuatan yang sedemikian rupa sehingga siapapun yang mengucapkannya, tak akan pernah melihat kehancuran tulang belulangnya.

Wahai, buatlah aku menjadi haus,

Jangan beri aku air!

Jadikan aku kekasihmu!

Kuasailah dalam tidurku! (D 1751)

Ini adalah pertemuan dua orang yang tidak memiliki unsur romantis, walaupun ada syair-syair yang manis dan liris ,mengenai Syams-tetapi hal itu tidak bersifat tidak mengenal waktu dan bersifat hikayat.

Dan hasilnya hanya tiga kata;

Aku terbakar, aku terbakar, aku terbakar.

Maulana tidak pernah benar-benar memahami bagaimana Cinta telah memberinya lagu dan musik, memberinya alim yang zuhud, dan orang yang berkeluarga baik-baik, bagaimana itu telah mengubahnya.

Ia yang muncul dengan gaun merah setahun yang lalu

Kini, telah tiba dengan jubah berwarna kecokelatan

Anggur itu tetap satu,

Hanya wahananya yang berubah

Betapa manisnya anggur itu memabukkan (D 650)

Orang saleh yang buta huruf ini, yang demikian telah menjadi bagian yang tak dapat dipisahkan dari kehidupan spiritual Rumi, kini secara tiba-tiba tampak bagi sang guru cermin sejati yang amat diinginkannya untuk menemukan jalan kembali kepada dirinya sendiri.

Sayap-sayap jibril dan malaikat menjadi biru;

Demi kau, orang-orang suci

Dan para rasul telah menangis....(D 2364)

Maulana menyanyikan lagu pemakaman yang sangat mengharukan, yang mengandung sajak berulang girista (telah menangis)

Kata guru ; Untuk pemakamanku,

Ambilah genderang, rebana, dan gendang

Wahai teman-temanku,

Bergembira, bersuka ria, bertepuklah! (V 1112)

Pemakaman sang pandai emas pun bertabuh menjadi tarian berputar (sama), untuk memenuhi keinginannya sendiri, seperti dituturkan putranya Sultan Walad

Jiwa jamaah ini maju terus

Selangkah demi selangkah menuju jamaah,

Matahari di keningnya, dan ditangannya

Cawan demi cawan......(D 1583)

Nama Husamuddin disebutkan, dan dalam sebuah syair liris lainnya namanya muncul secara jelas dan kadang-kadang tersembunyi, seperti dalam lagu tarian suka cita berikut ini yang berakhir dengan permainan kata-kata:

Jika kau adalah sebuah nama-kini nama itu

Bercampur dengan yang dinamai

Tidak! Nama itu bagaikan sarung, dan yang dinamai

Adalah pedangnya (Husam).

Pada akhirnya Maulana menggunakan bahasa Arab:

Wahai Husamuddin, tuliskan penjelasan

Tentang Sultan Cinta (yaitu Syamsuddin). (D 738)

Karenanya, dia tampil sebagai bagian dari kepribadian Syams dan dengan begitu dapat diserahi tugas untuk menyimpan rahasia, seperti yang ditulis Maulana dalam Diwan:

Lebih baik jika sahabat tetap tertabiri!

Mari, dengarkan kisah ini:

Lebih baik misteri ini diceritakan

Dalam kisah orang lain, kisah lama! (M; 141)

Permintaan Husamuddin tentang Syams ditolak oleh Maulana yang akhirnya menenangkannya dengan baris-baris ini:

Wahai yang namanya adalah makanan lezat

Bagi jiwaku yang mabuk! (D 2229)

Namun, di akhir karya itu, Maulana bercerita tentang Zulaikha, istri Potiphar dan kerinduannya kepada Yusuf yang tampan

Jangan menangis: “Aduhai kenapa pergi!”

Dalam pemakamanku

Bagiku, inilah bahagia!

Jangan katakan, “Selamat tinggal”

Ketika aku dimasukkan ke liang lahat

Itu adalah tirai rahmat yang abadi! (D911)

Dia juga menghibur teman-temannya dengan memperingatkan mereka bahwa kematian bukan perpisahan, tetapi pembebasan bagi burung jiwa:

Bila gandum dari debuku,

Dan bila dimasak jadi roti-kemabukan

Akan bertambah.

Adonan; mabuk!Dan tukang roti!

Ovennya pun akan menyanyikan mazmur

Yang ekstatis!

Bila Datang ke makamku untuk mengunjungiku

Jangan datang ke makamku tanpa genderang,

Karena pada perjalanan Tuhan,

Orang yang berduka tidak diberi tempat (D 683)

Dan dia berkata dengan penuh semangat kepada mereka:

Penduduk Kota, tua dan muda

Semuanya meratap, menangis, mengeluh keras,

Orang-orang desa, orang-orang Turki dan Yunani,

Mereka mencbik-cabik pakaian mereka

Karena perasaan sedih

Atas meninggalnya orang yang agung ini’

“Ia adalah Musa!”

Kata orang-orang yahudi.....(VN 121)

Maulana meninggal dunia pada senja hari, 17 Desember 1273, dan setiap orang di Konya-baik yang kristen, Yahudi, maupun muslim-menghadiri pemakamannya, seperti yang dikatakan oleh putranya

Di manakah aku, di manakah puisi?

Tetapi orang Turki membisikiku:

Hai, siapakah engkau? (D1949)

Bait diatas, yang ditulis dalam bahasa Turki, mengungkapkan sikap Maulana terhadap syairnya sendiri

*EKSPRESI PUITIS

Simpanlah kata-kata Persiamu,

Aku akan berucap dalam bahasa Arab:

“Jiwa kita dihibur oleh anggur.”

Dikisahkan Syams sama sekali tidak menyukai puisi-puisi itu dan mengungkapkan ketidaksukaannya ini kepada sahabatnya dalam suatu ini kepada sahabatnya dalam mimpi yang aneh dimana Syams mengguncang-guncangkan Mutannabi yang tua itu bagaikan boneka usang. Namun, masih saja orang mendapati kiasan-kiasan dan kutipan-kutipan yang berasal dari Mutannabi dalam syair-syair Maulana dan juga dalam Fihi ma fihi, seperti dalam syair penutup dari sebuah ghazal

Sahabatku yang seorang tabib mengisi cangkir

Tinggalkan

Fa’iliun mufta’ilun dan fa’ilatun dan fa’i

Dia mengisi suatu baris dengan kata-kata bahasa Arab yang menarik perhatian untuk matra, fa’ilatun mufta’ilun “ini telah membunuhku”, atau dia berkata dengan akhiran (ending) bahasa Arab

Separuh dari ghazal belum lagi terucap dari mulutku

Tapi sayang,aku telah kehilangan kepala

Dan kaki! (D 2378)

Di tempat lain dia mengeluh

Tanpa kehadiranmu,

Sama (tarian berputar) itu haram...

Tak satu ghazal pun terucap tanpa kehadiranmu,

Namun, dalam kesukaan mendengar namamu (disebut)

Lima, enam ghazal tercipta. (D 1760)

Orang sering kali tergoda untuk bertepuk tangan dan menafsirkan kembali irama musiknya, dan irama musiknya inilah yang melahirkan syair ini atau itu.

Musim semi telah datang, musim semi telah datang,

Musim semi yang penuh dengan bunga-bunga

Telah datang.

Kawanku telah datang, kawanku telah datang,

Kawanku yang memikul beban telah datang ...

Munculnya puisi dari gerakan tarian ini juga menjelaskan kecenderungan Maulana pada pengulangan dan anafora-anafora yang panjang

Mari,mari kasih, mari kasih,

Masuk, masuklah ke dalam karyaku,

Ke dalam karyaku!

Kau, kaulah taman mawarku, taman mawarku;

Katakan, katakanlah rahasiaku, rahasiaku.

Dalam nada yang lebih kuat, tampak pada puisi

Kudengar omong kosong yang diucapkan oleh musuh,

Dalam hatiku. (D 1623)

Dalam beberapa hal tertentu, kita mengetahui bagaimana suatu kesan sensasional dapat melahirkan baris pertama dalam puisi, seperti ketika seseorang mengobrol dalam pertemuan sama’ telah membuat Rumi merasa terganggu

Dil ku? Dil ku?

Di mana hati? Dimana hati?

Kisah tentang seorang penjaja barang yang melewati rumah Maulana dengan membawa kulit serigala untuk dijual. Teriakannya dalam bahasa Turki: “tilku, tilku” (serigala-serigala!), segera memberikan ilham kepada Maulana untuk menulis sebuah puisi yang dimulai dengan kata-kata diatas

Pada suatu hari seorang kurdi kehilangan keledainya

atau kalau mungkin dia bertanya:

Apa yang kaumakan?Biarkan aku menciumnya!

Dalam banyak puisi, baris pertama bersifat provokatif. Hal ini dimaksudkan untuk menarik perhatian pendengarnya. Penyair dapat mengacu pada kisah yang lucu:

Cukup, cukup! Kau cuma kuda seorang penjaja air,

Bila telah didapatkannya seorang pembeli,

Maka diambilnya lonceng kecil

Yang terkalung di leher (kuda) itu. (D 25)

Tampaknya kecenderungan untuk menyuruh orang diam ketika inspirasi datang, atau ketika merasa sudah cukup banyak berbicara, merupakan bagian dari suatu inspirasi

Apakah ini Sinar Ilahiah?

Apakah ini datang dari dekat Tuhan? (D 2279)

Puisi-puisi terdahulu tak pernah menyebut nama Syamsi Tabriz secara langsung tetapi mengiaskannya secara halus dengan Matahari atau permainan dengan istilah-istilah astronomi

Aku baca kisah cinta itu siang dan malam

Kini, aku akan menjadi sebuah kisah dalam cintaku

Kepadamu (D 1499)

Kadang-kadang Maulana merenungi arti puisi. Mengapa dia sendiri merasa terdorong untuk mengutarakan semua syair ini?

Setiap utas rambutku telah berubah

Menjadi syair dan ghazal

Berkat cintamu. (D2329)

Tentu saja dia menyadari sumber inspirasi:

Beri aku ciuman untuk setiap puisi!

Kadang-kadang dia bercanda dengan yang dicintai yang telah memintanya membawakan sebuah puisi

Aku katakan “empat syair”, tetapi ia mengatakan,

“Tidak, sesuatu yang lebih baik!”

Baik-tetapi sebelumnya beri aku anggur yang keras! (D 2080)

Dalam puisi lain dia mengatakan

Kalau aku tidak melantunkan sebuah ghazal,

Dia robek mulutku!

Kadang-kadang dia mengeluh bahwa walaupun dia tidak ingin menyanyi,

Bulan pribadi itu wajahnya,

Syair dan ghazal itu aromanya-

Aroma itu bagian dia yang tak kenal melihat (D 468)

Salah satu perbandingan terbagus adalah perbandingan puisi dengan aroma baju Yusuf

Entah kau itu Arab atau Yunani atau Turki-

Pelajarilah lidah tanpa lidah! (D 1183)

Rumi memahami bahwa bahasa menyembunyikan sebanyak yang diungkapkan

Seruku: “Ke mana perginya hati yang mabuk?”

Kata rajanya raja: “Diamlah, ia menuju kami!”

Dan ketika penyair mencari dalam hatinya, dia diperingatkan agar diam:

Tanpa katamu, jiwa tak bertelinga,

Tanpa telinga, jiwa tak berlidah...(D 697)

Berkali-kali Maulana mengatakan:

Kuberpikir tentang sajak,

Tapi sang tercintaku bilang:

“Jangan memikirkan apa-apa,

Pikirkan saja wajahku!”

Dalam Matsnawi dia mengakui:

Kala kucari damai,

Dialah penolong sejati

Kala kupergi berperang,

Belati, itulah dia;

Kala ku pergi ke pertemuan,

Dialah anggur dan manisan.

Kala aku ketaman,

Keharuman itulah dia.

Kala aku ke pertambangan,

Dialah batu deliama disana.

Kala aku menyelam ke lautan,

Dialah mutiara.

Kala aku ke gurun,

Dialah taman disana.

Kala aku ke langit,

Dialah bintang terang...

Kala kutulis surat

Ke sahabat-sahabat tercintaku,

Kertas dan tempat tinta,

Tinta, pena, itulah dia.

Kala kutulis syair

Dan kucari syair

Dan kucari kata bersajak

Yang membentangkan sajak-sajak

Dalam pikiranku, itulah dia! (D 2251)

Persatuan penuh dengan sang tercinta mistis, yang menjadi dasar dari sedemikian banyak syair, terungkapkan dalam sebuah ghazal yang memesonakan

Kuh kun az kullaha...

Ciptakan gunung tengkorak,

Ciptakan lautan dan darah kita... (D 1304)

Ada baris-baris seperti diatas yang menakutkan dengan efek literasi yang keras sekali

Demi macan tutul (palang) keagunganmu,

Demi buaya (nihang) kecemburuanmu,

Demi landak kecil (khadang)

Pandangan sekilasmu, (D 772)

Dia sering menggunakan perkataan jenaka dan bersumpah

Di tapak tangan kami ada anggur (bada)

Dan kepala kami ada angin (bad), (D 7723)

Dia mengeluh (atau berbangga, barangkali?)

Hai, tuan, burung macam apa kamu?

Namamu? Untuk apa kamu?

Kau tak terbang, kau tak merumput,

Kau burung kecil!

Kau bagaikan burung unta. Ketika diperintah,

“Ayo terbang!” kau akan bilang,

“Aku unta Arab!-kapan

Unta pernah terbang?”

Kala tiba waktunya untuk membawa muatan,

Kau bilang, “Tidak, aku ini burung!

Kapan burung membawa muatan? Tolong,

Jangan lagi ucapkan kata-kata menyebalkan ini!” (D 2622)

Sindiran tentang seseorang yang tidak dapat percaya

Untuk apa takut pada sengatan kalajengking,

Duhai bulan,

Sebab aku tenggelam dalam madu, seperti lebah? (D 1015)

Juga, bisa dijumpai kiasan-kiasan tersembunyi mengenai tradisi atau folklore (hikayat)

Karena kusebut-sebut untanya pada baris pertama,

Dan akhirnya unta itu panjang. (D 1828)

Dia akan berkelakar bahwa syairnya bertele-tele jadinya:

Kalau bicaraku tak pantas bagi bibirmu,

Ambillah batu besar, lalu remukkan mulutku!

Bila bayi mengoceh, bukankah ibu yang baik

Meletakkan jarum dibibirnya

Sebagai pengajaran baginya? (D 2083)

Kelihatannya daya ungkapan itu kadang-kadang nyaris menakutkan penyair itu sendiri. Dia bahkan takut, jangan-jangan dia melukai perasaan sang sahabat

Tinggalkan ghazal-

Tetaplah pada azal (pra keabadian). (D 2115)

Dia memperingatkan dirinya sendiri di akhir sebuah ghazal

*SUATU HARI, MUSIM SEMI DI KONYA

Taman bunga mawar dan tumbuhan basil

Yang manis, segala macam anemone

Tempat tumbuhan bunga violet pada debu,

Dan angin serta air dan api, duhai hati!

Tanah-tanah kosong di kota dipenuhi dengan tanaman semak kacang polong; lalu berbagai dedaunan akan tumbuh di tepi sungai-sungai yang mengalir ke lereng gunung di Meram

Salju selalu berkata: “Aku akan meleleh,

Menjadi sungai,

Aku akan ke laut, sebab aku bagian dari lautan!

Aku sendirian, keras, lagi membeku,

Dan lagi gigi penderitaan dikunyah seperti es!” (D 1033)

Ungkapan tentang taman kepunyaan Husamuddin Syalabi

Dalam kefanaan penuh aku berkata:

“Duhai rajanya raja, semua citra meleleh

Dalam api ini!”

Dia berkata: “Sapaanmu tetap merupakan sisa

Salju ini-

Selagi ada salju, tersembunyilah bunga mawar merah!” (D 1033)

Maulana mengerti bahwa sedikit saja condong pada kehidupan materi bisa menghalangi manusia dari sepenuhnya persatuan dengan sang Tercinta

Bawang, bawang bakung dan bunga apiun

Akan mengungkapkan rahasia musim dingin-

Sebagian akan segar

(harfiahnya “dengan kepala berwarna hijau”),

Sebagian lagi menundukkan kepala

Seperti bunga violet! (M V 1801)

Ini bukanlah perkataan Rumi melainkan perkataan penafsir modernya yang utama, Muhammad Iqbal. Dalam perubahan ini, yaitu dari khalwah ke jilwah, Muhammad Iqbal melihat rahasia sejati kehidupan manusia

Kalau burung gagak tahu bahwa dirinya buruk,

Ia akan meleleh seperti salju karena sedih!

Selama musim dingin, benih-benih yang tampak berjejalan di bawah debu mempersiapkan kebangkitan-kembalinya pada musim semi

Burung bangau “Jiwa” telah tiba;

Telah tiba pula musim semi!-dimana kamu?

Dunia semarak dengan dedaunan

Dan bunga mawar nan cantik! (D 25854)

Orang amat senang menyaksikan petunjuk hidup bahwa musim semi sudah dekat

Wajah air yang bak berisi di musim dingin

Telah menjadi baju rantai (lemena) berkat angin-

Musim semi yang baru ini

Bisa jadi Daudnya masa kini,

Yang menenun lemena dari es! (D 2120)

Ketika mentari sudah masuk ke dalam Aries, maka musim semi, seperi nabi, dapat memperlihatkan mukjizatnya; mukjizat yang hanya dimiliki oleh nabi-nabi seperti Daud

Tanpa kedua mata-dua awan-penerang hati:

Api ancaman Tuhan, mana mungkin terpadamkan?

Bagamana dedaunan akan tumbuh dari persatuan,

Yang manis rasanya?

Bagaimana mata air akan memancarkan air murni?

Bagaimana tempat tumbuhnya belukar bunga mawar

Akan membeberkan rahasianya

Kepada padang rumput?

Bagaimana bunga violet akan membuat ikatan

Dengan bunga melati?

Bagaimana pohon plane

Akan mengangkat tangan-tangannya dalam doa?

Bagaimana pucuk-pucuk pohon

Akan meliuk-liuk di udara Cinta?

Bagaiman bunga-bunga

Akan mengguncang-guncangkan lengan bajunya

Pada musim semi

Untuk menebarkan butiran-butiran indahnya

Di taman yang luas?

Bagaimana pipi bunga tulip akan merah warnanya

Seperti api dan darah?

Bagaimana bunga mawar akan mengulurkan emasnya

Dari pundi-pundinya?

Bagaimana burung bulbul

Akan mengendus keharuman bunga mawar?

bagaimana suara merpati

Akan seperti sang pencari “Dimana,

Duhai dimana?”

Bagaimana burung bangau akan mengulang

Lak-laknya dari jiwanya,

Untuk mengatakan: “Duhai Yang Maha Penolong,

Milik-Mulah kerajaan, milik-Mulah!”

Bagaimana debu akan mengungkapkan rahasia hatinya?

Bagaimana langit

Akan menjadi taman yang mandi cahaya? (M II : 1655-64)

Bagaimana alam pada musim semi amat serupa dengan perilaku manusia

Engkaulah langitku, dan aku buminya,

Yang kebingungan

Apa yang membuatmu terus mengalir dari hatiku?

Akulah tanah berbibir kering!bawakan air

Yang akan menumbuhkan bunga mawar dari tanah ini!

Bagaimana bumi tahu

Apa yang dikau taburkan dalam hatinya?

Karena kamulah, tanah ini mengandung,

Dan kamu pun tahu bebannya! (D 3048)

Rumu menspiritualisasikan dan, menerapkannya pada keadaannya sendiri

Ranting pun mulai menari seperti orang yang bertobat

(yang baru saja menapak dijalan tasawuf),

Dedaunan pun bertepuk tangan

Seperti penyanyi pengembara (M IV 3264)

Karunia itu dari Tuhan, namun orang

Takkan menemukan karunia tanpa tabir “Taman” (M V 2338)

Semua bunga mawar, meski sisi luarnya

Kelihatan seperti duri;

Itulah cahaya dari Belukar Terbakar,

Meski keliatannya seperti api! (D 859)

Seperti kucing yang membawa anaknya

Dengan mulutnya

Kenapa tak kau lihat ibu-ibu ditaman? (D 2854)

Maulana memandang taman dengan mata cinta dan mengajak teman-temannya untuk bersama-sama mengagumi tunas-tunas yang baru tumbuh

Kami menyembah-Mu!”-itulah doa taman

Dimusim dingin.

“Kami minta tolong hanya pada-Mu!”

Itulah rengeknya di musim semi.

“Kami menyembah-Mu!-itu arti aku datang

Memohon pada-Mu:

“Jangan tinggalkan diriku dalam kesedihan ini, Tuhan,

Bukalah lebar-lebar pintu kegembiraan!

“Kami minta tolong pada-Mu, Tuhan”-yaitu

Kelimpahan buah yang masak lagi manis rasanya.

Nah patahkanlah dahan dan rantingku-

Lindungilah daku, Ya Alloh Ya Tuhanku! (D 2046)

Kamilah bayi merpati

Yang berada dalam perlindunganmu,

Kami kelilingi serambi rerantingan (D 1673)

Kisah pemimpin spiritual-unta itupun bergerak gembira mengarungi padang pasir dan stepa:

Lihatlah anting-anting hidung pencinta di tanganmu

Siang malam aku ada di barisan unta ini! (D 302)

Di taman ada beratus-ratus kekasih nan menawan

Bunga mawar dan bunga tulip menari berputar-putar

Di anak sungainya mengalir air bening,

Semuanya ini hanyalah helat (dalih)-itulah Dia!

Jika itu kedengarannya penteistik, akan timbul pertanyaan mengapa putra Maulana, yang sekaligus penulis riwayat hidup Maulana, yaitu Sultan Walad, menjelaskan pandangan ini:

Barang siapa memiliki cahaya yang dimiliki malaikat,

dia tidak akan tertegun dengan lempung Adam,

malahan dia melihat dalam diri Adam cahaya Tuhan,

Memang barang siapa semakin sempurna, dia

akan melihat dalam batu, jerami, kayu,

dalam segala sesuatu dan dalam atom, adanya Tuhan,

seperti yang dilihat dan diucapkan Bayazid:

“Tidak pernah aku melihat sesuatu tanpa kulihat di dalamnya Tuhan.” (VN 171)

Taman dan buah-buahan ada dalam hati

Dalam air dan lempung ini yang ada

Hanyalah pantulan kemurahan hati-Nya (M IV 1357f.)

Namun baris sajak yang terakhir ini tidak seperti ini tidak sepenuhnya mencerminkan sikap personal Maulana. Sebab;

Berkat pandangan mentari,

Tanah menjadi tumbuhnya bunga tulip

Kini duduk di rumah adalah bencana, bencana! (D 1346)

*MUTIARA YANG TERSEMBUNYI (Pemikiran Maulana tentang Tuhan dan Ciptaan-Nya)

Segala yang dapat kamu pikir itu fana.

Yang tidak dapat terpikirkan, itulah Tuhan! (M II 3107)

Yang menjadi basis, pusat, dan tujuan pemikiran Maulana adalah Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Tak Terbatas, yang Zat-Nya tak pernah dapat dijangkau, tetapi tak pernah harus menjadi tema pemikiran dan diskusi

Dari materi perdana, hayula dan Sebab Pertama

Tak kau temukan jalan untuk menghadap Tuhan!

Maulana mengikuti modelnya yang dikagumi, yaitu Sana’i yang menulis diatas

Di neraka, para penghuni neraka akan merasa lebih bahagia dibanding di dunia,

sebab di dunia mereka tidak ingat kepada Alloh,

sedangkan di neraka mereka ingat kepada-Nya

dan tidak ada yang lebih manis selain mengenal Alloh. (Fihi ma fihi, Bab 63)

Argumentasi Maulana diatas terdengar berani

Lautan berombak, dan

Tampaklah Kearifan Abadi

Dan suaranya pun berkumandang...

Begitulah ia.

Lautan penuh buih

Dan dari tiap-tiap buih ini

Muncul bentuk seperti ini,

Dan bintik itu tak lain seperti itu,

Dan tiap-tiap bintik yang berbentuk jasadi

Yang terdengar isyarat dari lautan itu,

Lebur dan kemudian kembali

Ke lautan jiwa....(D 649)

Maulana menggambarkan bagaimana dia memandang lautan yang tidak terukur dalamnya itu, dan dari lautan itu muncul bintik-bintik buih yang kemudian akan sirna kembali

Tiada henti-hentinya muncul darinya

Gelombang-gelombang wujud,

Sehingga berkat gerakan gelombang-gelombang itu,

Berputarlah seratus kincir. (D 155)

Wujud dan nonwujud bersaudara,

Sebab dalam satu irama lainnya

Tersembunyi pertentangan-pertentangan:

Bukankah Al-Quran mengatakan:

“Dia menjadikan yang hidup dari yang mati”

(QS AL-Anam [6]: 95) (MV 1018-19)

Kembalilah menghadap-Nya, lalu menjadi adam,

Sebab adam itu adalah tambang jiwa

Kalau adam itu lautan, maka kita ikannya,

Dan Wujud adalah jaringnya...(D 734)

Cinta menggenggam telinga adam, keduanya

Noneksistensi dan eksistensi

Bergantung padanya, tufail (D 1019)

Meskipun dari adam akan muncul seribu alam,

Bagi halaman Cinta (Tuhan),

Alam-alam itu seperti bintik-bintik yang indah,

Tidak lebih dari itu. (D 2234)

Engkau sendiri pun tahu bahwa aku, tanpa-Mu

Cuma ketiadaan (adam).

Ketiadaan tak mungkin menjadi ada

Aku kurang tahu itu! (D 1432)

Maulana mengungkapkan perasaannya bahwa dirinya mutlak bergantung kepada Sang Tercinta dalam baris yang menjadi ciri khas pendekatan non rasionalnya

Hatiku jadi seperti pena

Diantara jari-jari Sang Tercinta:

Malam ini Dia Tulis Z,

Barangkali besok B.

Dia persiapkan baik-baik pena-Nya

Untuk menuliskan perbaikan (riqa)

Dan penghapusan (naskh);

Kata pena: “Aku taat,

Karena Dikau mahatahu apa yang harus diperbuat.”

Kadang Dia hitamkan wajahnya,

Lalu Dia hapus dengan rambut-Nya,

Kini Dia memegangnya terbalik,

Kadang Dia menulis dengannya juga....(D 2530)

Sikap Maulana yang menyamakan Alloh dengan pakar kaligrafi ini juga didukung oleh hadist yang mengatakan bahwa “hati seorang Mukmin itu berada di antara dua jari Sang Pengasih.”

Janganlah membuat sarang, seperti laba-laba,

Dari air liur dukacita

Di mana pakan lungsin pasti hancur.

Namun, serahkan dukacita

Kepada Dia yang menganugerahkannya

Dan janganlah diperbincangkan lagi.

Bila kamu diam, bicara-Nya adalah bicaramu;

Bila kamu tidak menenun,

Maka penenunnya adalah Dia. (D 922)

Maulana, yang tinggal disebuah daerah yang terkenal dengan produk permadaninya yang bagus, menggunakan simbol tukang tenun dengan sangat piawai ketika menghibur mereka yang berupaya menurut keinginan-keinginan mereka sendiri dan harus menghadapi kehancuran rencana-rencana mereka.

Dan jika semua lintasan dan jalan

Yang terbentang di hadapanmu ditutup-Nya,

Akan diperlihatkan-Nya jalan tersembunyi

Yang belum pernah dilihat oleh siapa pun.

Dia tahu dalam minggu-minggu, bulan-bulan, dan tahun-tahun penderitaan dalam Cinta bahwa dibalik semua cobaan duniawi ada sesuatu pola rahasia dan dalam kehidupannya sendiri dia melihat kebenaran

Meski tuan sangat murah hati,

Namun, Ya Tuhan,

Itu tak dapat dibandingkan dengan karunia-Mu.

Dia memberikan topi,

Sedangkan Engkau kepala dengan akal,

Dia memberikan mantel,

Sedangkan Engkau anggota badan, tubuh.

Dia memberikan bagal,

Sedangkan Engkau pengendaranya, Akal.

Tuan memberikan lilin,

Sedangkan Engkau penglihatan,

Dia memberikan makanan lezat,

Sedangkan Engkau selera....

Perasaan bahwa segalanya itu ada di tangan Tuhan, yang paling mengetahui bagaimana memanfaatkan makhluk-mahkluk-Nya

Jika Dia memberikan aku cawan,

Jadilah aku cawan,

Jika Dia menjadikan aku pisau,

Jadilah aku pisau,

Jika Dia menjadikan aku sumber air,

Akan kualirkan air,

Jika Dia menjadikan aku api,,

Aku akan memberikan panas.

Jika Dia menjadikan aku hujan,

Akan aku tumbuhkan musim panen,

Jika Dia menjadikan aku jarum,

Kutembus tubuh.

Jika Dia menjadikan aku ular,

Akan kukeluarkan bisa,

Jika Dia menjadikan aku sahabat-Nya,

Hanya Dia yang akan kuabdi. (M V 1686)

Maulana dalam fase terakhir dalam hidupnya, ingin mengikhtisarkan perasaan-perasaan dan pengalaman-pengalamannya diluar berbagai kisah yang telah disampaikannya kepada pendengarnya

Tangkaplah kelim (tepi) karunia-Nya,

Karena Dia akan mendadak lari!

Tapi jangan hunus Dia seperti anak panah,

Karena dari busur Dia akan meluncur.

Lihat bagaimana rupa-Nya, dan

Bagaimana jurus yang dimainkan-Nya!

Kiranya dia hadir dalam bentuk

Namun Dia akan lari dari jiwa.

Kau cari Dia jauh tinggi di langit-Nya

Dia bercahaya bak rembulan di danau,

Namun jika kau menyelam ke dalam airnya,

Dia akan berikan tanda-tanda tempat-Nya:

Namun jika kau cari Dia di tempat,

Dia akan terbang ke Tak-Bertempat.

Seperti anak panah meluncur dari tali busurnya

Dan seperti burung pikiranmu....

Kau pasti tahu: dari yang ragu

Yang maha Mutlak akan lari.

“Aku akan lari dari yang ini dan yang itu,

Namun bukan karena lelah:

Aku takut keindahan-Ku, yang amat indah,

Akan lari dari yang ini dan dari itu,

Karena Aku terbang bak angin,

Dan Aku cinta bunga mawar, seperti desiran,

Tapi karena takut akan musim rontok,

Bunga mawar juga akan lari, bukan!”

Nama-Nya akan lari

Ketika tahu kau bermaksud mengucapkannya

Sehingga kau tak bisa kau katakan kepada orang lain:

“Lihatlah ke sini, orang seperti itu akan lari!”

Dia akan lari darimu jika kau coba mensketsakan

Bagaimana rupa dan bentuk-Nya

Goresan akan lari dari loh,

Tanda akan lari dari hati!

Dalam ungkapan yang lebih liris, Maulana mengungkapkan kebenaran yang sama dalam kata-kata yang agak jenaka

Para pencari tidak mencari dan tidak merindu

Di seluruh dunia tiada yang mencari kecuali Dia! (D 425)

Keyakinan Maulana kepada-Nya tidak dapat diganggu gugat, sebab dia tahu bahwa segala yang sudah dan akan terjadi disebabkan oleh Tuhan.

Bukan saja yang akan kehausan yang mencari air

Air pun mencari yang kehausan. (M 11704)

Maulana mengikhtisarkan pusat teologinya ini (jika bisa disebut demikian) dalam sebuah baris yang sudah termaktub dalam literatur-literatur mistik islam, diulang dalam fihi ma fihi:

Seorang guru sekolah yang amat miskin, sampai-sampai yang dapat dipakainya hanya sebuah baju katun, dan pada musim dingin pun hanya memakai baju ini, sedang berdiri di sebuah sungai pegunungan yang deras airnya ketika tiba-tiba dia melihat seekor beruang berada dia air. Binatang itu tercebur ke dalam gelombang air deras dari pegunungan dan terseret sampai ke dusun. Anak-anak sekolah, yang kasihan melihat gurunya, menyuruhnya terjun ke air untuk mengambil sebuah mantel bulu yang bagus yang hanyut di air yang merupakan karunia yang amat berharga. Karena putus asa, dia pun terjun ke air. Namun, beruang, yang sebenarnya masih segar bugar, menangkapnya dan menarik sang guru kearah dirinya. Ketika anak-anak yang ketakutan itu menyaksikan kejadian ini, mereka melepaskan mantel bulu yang bagus itu, tetapi sang guru menyahut, “Memang akan kulepaskan mantel bulu ini, tetapi mantel ini tidak mau melepaskan diriku!”

Dalam fihi ma fihi, Maulana selanjutnya berkata, “Begitu Rahmat Allah menangkap dirimu, kamu takkan dibiarkannya lepas!”Rumi mengatakan:

Akal senantiasa gelisah siang dan malam dan tidak pernah menikmati kedamaian karena berpikir dan khawatir, dan karena mencoba memahami Allah, padahal Allah itu tidak mungkin dapat dipahami dan jauh diluar pemahaman kita. Akal seperti itu ngengat, sedang Sang Tercinta seperti lilin. Meskipun ngengat menceburkan dirinya kedalam api dan terbakar hingga binasa, ngengat sejati adalah ngengat yang tidak mungkin ada tanpa adanya lilin, persis sebagaimana ia akan menderita karena pedihnya pengorbanannya. Jika ada makhluk seperti ngengat yang dapat berbuat tanpa api lilin dan yang tidak akan menceburkan dirinya ke dalam api, tentu ia bukanlah ngengat sejati. Dan jika ngengat menceburkan diri ke dalam api lilin, lalu lilin membakarnya, itu bukanlah lilin sejati.

Oleh karena itu, manusia yang hidup tanpa Tuhan, dan yang tidak berupaya sama sekali, dia bukanlah manusia sejati. Adapun Allah, Dialah yang membinasakan dan menyirnakan manusia dan akal tidak mungkin dapat memahami-Nya

*EKOR KELEDAI DENGAN SAYAP MALAIKAT

Keadaan manusia itu seperti ini: sayap malaikat diikatkan pada ekor keledai sehingga keledai itu barangkali bisa juga menjadi malaikat, berkat cahaya yang terjadi karena bersama malaikat. (Fihi ma Fihi, Bab 26)

Inilah amsal yang mengesankan, sebab, amsal ini menggambarkan kondisi manusia, fakta bahwa satu-satunya makhluk yang memiliki sejumlah kehendak bebas terletak antara binatang dan malaikat, antara dunia materi murni dan dunia ruh murni

Dialah cahaya Tuhan, dia bukanlah “kekasih” yang itu Dialah pencipta, yang hampir saja disebut: Dia bukanlah ciptaan!

Maulana memuji wanita, keyakinan pada takdir mutlak berarti menisbahkan tanggung jawab atas perbuatan dosa merupakan tanggung jawab Tuhan, dalam fihi ma fihi diperjelas:

Seorang pria masuk ke kebun, memanjat pohon, dan menyantap buahnya. Ketika tukang kebun memergokinya, dia mengatakan bahwa dia hanyalah atas perkenan Tuhan. Lalu tukang kebun memaksanya turun, memanggil pelayannya, dan mencambuk pria itu “dengan cambuknya Tuhan” hingga pria itu mengakui bahwa dirinya telah mencuri buah-buahan atas kehendaknya sendiri, bukan karena atas kehendak Tuhan ....

Dalam pendekatan terhadap problem kehendak bebas dan takdir ini, Maulana tampaknya mengikuti setiap sikap teologis ayahnya. Maulana telah merumuskan rahasia kehendak bebas dan aplikasinya dalam baris syair yang indah dalam Matsnawi:

Kehendak bebas itu ikhtiar untuk bersyukur pada Tuhan atas kemurahhatian-Nya. (M 1929)

Makanlah buah yang kamu tanam sendiri,

kenakan pakaian yang kamu pintal sendiri!

Lihatlah botol (obat) air seni perbuatan! (D 1134)

Maulana mengajarkan kepada pendengarnya pentingnya perbuatan baik kadang-kadang dalam terminologi medis:

Banteng dipikul!

Karena menolak membawa muatan,

Banteng tidak dipukul walaupun ia tidak mengeluarkan sayap! (M V 3102)

Dunia ini seperti batu ambar (kahruba) dan memikat jerami,

Ketika tanaman gandum sudah berbuah,

ia tidak bercemas hati karena batu ambar

(sebab ia tidak lagi terpikat olehnya) (D Tarji’band No. 25)

Maulana memperingatkan pembacanya agar senantiasa mengingat-ingat perkataan penting, “Orang Mukmin itu cerminnya orang Mukmin.”

Aku sudah muak dengan binatang buas dan binatang lain;

yang kuinginkan hanyalah manusia, insanam arzust!

Pencari dunia itu wanita,

pencari akhirat itu hermaprodit,

pencari Tuhan itu pria.

Akan tetapi itu tidak mencegah kemungkinan bahwa wanita bisa juga menjadi “manusia” dalam pengertian ini. “Manusianya Tuhan” tidak ada hubungannya dengan jenis kelamin:

Jika karena jenggot dan testis lantas dia “pria”

Rusa jantan pun cukup berambut dan berjenggot! (M V 3345)

Maulana menyindir orang-orang yang pura-pura mengikuti jalan tasawuf:

Jika diri yang telanjang itu “manusia”,

Tentu bawang putih pun juga manusia! (D 1069)

Rumi secara cerdas dengan ungkapan-ungkapan Al-Quran mengenai “Muslimah sejati”. Lalu, dia bertutur kepada pendengarnya yang saleh:

Ahlak bagusmu akan menemuimu setelah kematianmu,

Bak wanita berwajah purnama,

ahlak ini berjalan anggun ...

kalau kamu sudah bercerai dengan tubuh,

akan kamu lihat barisan bidadari,

“Wanita Muslim, wanita beriman, wanita saleh dan bertobat” (QS Al-Tahrim [66]: 5 )

Sifat-sifatmu akan menyongsong usungan mayatmu ...

Dalam peti mati, sifat-sifat ini akan menemanimu,

Mereka akan mengikutimu bak putra dan putrimu,

Lalu kamu akan mengenakan pakaian dari pakan dan lungsin hasil ibadahmu ... (D 385)

Bila nafsu berkata “meong” seperti kucing,

kutaruh nafsu itu di dalam tas bagaikan kucing! (D 1656)

Cintalah yang diperlukan untuk mengubah “setan”nya manusia menjadi malaikat, logamnya menjadi emas

Begitu Sulaiman pergi,

bertakhtalah setan sebagai kaisar;

begitu kesabaran dan akal pergi,

jadilah nafsumu “pendorong ke keburukan” (D 455)

Maulana tahu benar bahwa amal-amal ibadah pun bisa juga merupakan hasil aktivitas nafsu, sebab banyak orang yang merasa angkuh lantaran merasa sudah beribadah. Itulah sebabnya:

Di tangan kanannya nafsu memegang tasbih dan Al-Quran,

Di lengan bajunya tersembunyi pedang dan pisau. (M III 2554ff.)

Bila jiwa pergi, buatkan aku ruang di bawah debu,

Debu bertebaran di rumah ketika ibu pergi! (D 830)

Namun jiwa, anak rupawan dalam ayunan “tubuh”, tidak saja anak seperti Isa; ia juga ibu yang tinggal di rumah tubuh, dan sekali ia pergi, tibalah saat kematian, seperti kata Maulana dalam amsal diatas

Dengan tapak tangannya,

cintanya mengambil hatiku yang merana,

lalu mencium (bau)-nya: Kalau hati ini tidak indah,

mana mungkin dapat menjadi buket kembang bagi-Nya? (D 2130)

Seorang mengetuk pintu sahabatnya. “Siapa kamu, apa kamu orang yang dinanti-nantikan?” tanya sahabat. Orang itu menyahut: “Aku!” Sang sahabat berkata: “Enyahlah dari sini, ini bukan tempatnya orang mentah dan kasar!” Apalagi yang dapat mematangkan yang mentah dan menyelamatkannya, kalau bukan api keterpisahan dan api pengasingan? Setahun penuh orang malang itu berkelana, dan terbakar dalam keterpisahan dari sahabatnya, lalu dia pun jadi matang, kemudian kembali dan dengan hati-hati mendekati tempat tinggal sang sahabat. Dia berjalan mengitari tempat itu dengan rasa cemas, jangan-jangan dari bibirnya keluar kata-kata kasar. “Siapa itu yang ada dipintu?” seru sang sahabat. “Dikau, kawan!” demikian jawabnya. “Masuklah, kini kamu itu aku di rumah ini tak ada tempat bagi dua ‘aku’!” kata sang sahabat. (M 13056-63)

Dalam kisah yang sederhana, kisah ini berisi tentang perlunya sang abdi sirna dalam Sang Tercinta

Kau bilang: “Rumah raja (khaqan) itu,

hatinya mereka yang merindu”

Aku tak punya hati, duhai jiwaku!

Lantas di mana rumahmu? (D 575)

Akan tetapi, apa yang harus dilakukan ketika pencinta telah kehilangan hatinya ketika Kekasih telah membawanya pergi?

Matsnawi-yi maulawi-yi ma’nawi hast qur’an dar zaban-i pahlawi. (Bait-bait Al-Quran dalam lidah Persia).

Demikian tulis Jami di Herat pada abad ke-15. Herat adalah ibu kota kekaisaran Timur Lenk yang sekarang disebut Afghanistan, negeri leluhur Maulana. Penulis biografi Maulana Aflaki yang menulis hampir seabad setelah kematian sang guru dan seabad sebelum Jami. Maulana telah menenggelamkan dirinya dalam kata-kata suci itu dan dalam fihi ma fihi dia menjelaskan sejauh mana arti Al-Quran baginya:

Al-Quran adalah brokar (kain sutra berat berlungsin emas) bersisi dua. Sebagian orang senang dengan sisi yang satu, sebagian orang lagi senang dengan sisi yang satunya lagi. Keduanya itu benar, sebab Allah Swt. Menghendaki agar kedua kelompok itu mengambil manfaat darinya. Begitu pula, wanita mempunyai suami dan bayi; suami dan bayi senang kepada wanita itu secara berbeda. Bayi senang pada buah dada dan air susunya, sedangkan suami senang pada ciuman, tidur bersama, dan pelukannya. Dalam tasawuf, sebaagian orang adalah anak yang suka minum susu-orang-orang seperti ini senang kepada makna lahiriah Al-Quran. Akan tetapi, manusia-manusia sejati tahu kesenangan lain dan memiliki pemahaman yang berbeda mengenai makna-makna batiniah Al-Quran.

Mereka bilang: “Bacakan Yasin supaya Cinta jadi tenang!”

Apa gunanya Yasin bagi jiwa yang sudah sampai di bibir

(yaitu bagi seseorang yang sudah berada di ujung kematian) (D 2609)

Pada zaman Maulana, kebiasaan membaca Surah Ya Sin (Surah 36) untuk orang yang sudah meninggal dunia meluas kemana-mana, karenanya dia mengatakan syair diatas

Mengapa kamu tetap membaca ‘abasa

(dia bermuka masam) (QS ‘Abasa [80]: 1)

Padahal Jiwa anak sudah sampai tabaraka (Mahasuci) (QS Al-Mulk [67]: 1)? (D 2625)

Dengan kata lain, dukacita, seperti yang diungkapkan dalam firman Tuhan kepada Nabi Saw., yang merupakan celaan terhadap seseorang yang bermuka masam ketika orang buta menemuinya, telah digantikan sukacita yang diungkapkan oleh kata mahasuci dalam bagian sebelumnya

Ketika dia bilang: Lilin meleleh dengan lembut! Itu artinya: Sahabatku lebih baik hati kepadaku. Bila dia bilang: Lihat, bulan terbit! Bila dia bilang: Willow (nama pohon) kini menghijau! Bila dia bilang: Dedaunan pada bergoyang Bila dia bilang: Betapa indahnya nyala rue (nama tanaman) Bila dia bilang: Burung-burung berkidung kepada bunga-bunga mawar, Bila dia bilang: Pukul kuat-kuat permadaniku! Dan dia bilang: Roti pada hambar! Dan dia bilang: Ada yang tak beres pada lingkungan... Dia memuji-artinya, “Pelukan manisnya.” Dia mencomel-artinya, “Dia jauh!” Dan ketika dia sering menyebut-nyebut nama-Maksudnya tak lain nama Yusuf ....

Begitu pula, segenap bangunan nama-nama yang diulang-ulang sufi pencinta Tuhan tak lain adalah tabir yang menutupi Realitas

Tubuh itu seperti Maryam, masing-masing kita punya satu Isa. Namun, selama tidak ada kepedihan berarti Isa kita tidak lahir. Jika kepedihan tak pernah datang, Isa kita kembali ke tempat asalnya di jalan rahasia, dan kita tertinggal di belakang, dalam kehidupan dan tidak memiliki apa pun darinya.

Inilah gagasan mistik tentang kelahiran Isa dalam jiwa yang akan diungkapkan setengah abad kemudian oleh Meister Eckhart di Jerman: makhluk spiritual akan lahir dalam jiwa manusia, asal saja kita sudi memikul beban kepedihan yang ditimbulkan oleh Cinta Ilahi

Di hati dukacita karena

Dia adalah seperti kekayaan;

hatiku adalah “cahaya di atas cahaya” (QS Al-Nur [24]: 35)

Bagai Maryam nan rupawan, yang mengandung Isa (D 565)

Jiwa seperti Isa di dalam ayunan “Tubuh”.

Di manakah Maryam yang membuat ayunan kita? (D 2176)

Jauh sekali ekor keledai dari ayunan Isa! (D 1107)

Menurut Aflaki, Syams mengatakan bahwa:

Tuhan sendiri tidak dapat berbuat apa-apa tanpa Muhammad karena Dia telah berfirman dalam Al-Quran: Dan andaikata Kami menghendaki, benar-benarlah Kami utus pada tiap-tiap negeri seorang yang memberi peringatan (rasul) (QS Al-Furqan [25]: 51)namun, Dia tidak menginginkan itu, dan Dia tidak mau lau syi’na (jika Kami mau) ini .... (Man.665)

Dua jalan menuju jiwa, yang secara kasar sama dengan jalan nabi, yang membuat segalanya menjadi terang benderang dengan cahaya sejarah, dan jalan sufi, yang menemukan “Tuhan” di samudra jiwanya

Jiwaku ada dilangit,

sedangkan perjalanannya (Yunani) ke lereng

sebab kedekatan dengan Tuhan itu tidak terbilang

Ya Habib Alloh rasul Allah ki yakta’i tu-i,

Duhai sahabat Tuhan, Rasul Allah,

dikaulah satu-satunya, Yang dipilih oleh Yang Mahakuasa,

dikau suci dan tiada tara.

Ada seratus ribu buku syair semuanya jadi malu di hadapan kata sang buta huruf (Nabi)! (MI 529)

Rumi membuat interprestasi yang lebih teoretis mengenai istilah ummi; pengetahuan Nabi itu bersifat bawaan bukan diperoleh melalui belajar, sebab dia memperoleh pengetahuannya dari akal pertama, sumber segala kearifan

Duhai pengeran penunggang perintah “Katakan!” (Qul)

Duhai, yang di hadapan akalnya Jiwa Universal

jadi seperti anak kecil yang karena sifat kekanak-kanakan dan kejahilannya

mengungsi lengan bajunya.... (D 1793)

Keberuntungan kaum darwis berasal dari “Rahmat” (bagi alam semesta);

Yapon (gaun) mereka bersinar bagaikan bulan,

dan syal mereka harumnya bagaikan bunga mawar! (D 2)

Demikianlah sebutan Rumi terhadap Nabi dalam Diwan, insan yang menurut sebagian syair sama dengan Cinta, karena Muhammad diutus sebagai rahmat bagi semesta alam (QS Al-Anbiya [21]: 107)

Jika kamu ingin warna dan keharuman sempurna air anggur

Ahmad Duhai pemimpin kafilah,

berhentilah sejenak di pintu gerbang Tabriz! (D 1966)

Bagi Rumi, tak diragukan lagi, “sahabat Tuhan” yang ideal itu adalah Syamsi Tabrizi, Maulana berkata:

Apabila ruh Manshur (Al-Hallaj) terlihat oleh syaikh Fariduddin ‘Aththar seratus lima puluh tahun setelah meninggalnya Al-Hallaj, dan menjadi guru spiritual syaikh ini, kamu pun akan selalu bersamaku apapun yang kiranya akan terjadi, dan ingatlah aku, sehingga aku bisa memperlihatkan diriku di hadapanmu dalam bentuk apa pun kiranya

Berapa banyak Simurgh yang litaninya,

“Ana’ al-haqq” terbakar sayap-sayap

dari bulu-bulunya ketika terbang ke sana! (D 1854)

“Aku”-nya Manshur tentu saja rahmat;

“Aku”-nya Fir’aun terkutuk!

Ketika persahabatan Manshur dengan Tuhan mencapai puncak tujuannya,

dia pun menjadi musuh dirinya sendiri,

dan menyirnakan dirinya ....

Akulah manshur yang tergantung di dahan Yang Maha Pengasih;

Ciuman dan pelukan dari bibir si jahat,

kurasakan kehangatannya. (D 581)

Bunuhlah aku, duhai sahabat-sahabat terpercayaku,

sebab dalam diriku yang sudah mati tiada lagi kehidupan

Maulana tahu bahwa Hallaj dan Bayazid juga adalah pencinta dan terpaksa harus mengalami penderitaan atas ucapan-ucapan mereka padahal dia sendiri sebagai kekasih sebenarnya baik-baik saja

Dengan sebelah tangan mereka

meneguk air anggur murni iman,

dengan tangannya yang satu lagi,

mereka memegang bendera kekufuran. (D 785)

Tanpa anggur, insannya Tuhan itu mabuk,

Tanpa daging panggang,

insannnya Tuhan itu sudah kenyang.

Kebingungan, itulah keadaan insannya Tuhan,

Insannya Tuhan tak butuh makan dan jua tidur.

Insannya Tuhan: raja dalam jubah darwis,

Insannya Tuhan: kekayaan tertutup debu.

Insannya Tuhan itu tidak di udara dan tidak di bumi,

Insannya Tuhan: bukan dari air, juga bukan dari api.

Insannya Tuhan hujan mutiara tanpa berawan.

Insannya Tuhan hujan punya seratus bulan dan langit,

Insannya Tuhan punya seratus mentari.

Melalui kebenaran Ilahi insannya Tuhan tahu,

Tanpa buku, insannya Tuhan alim.

Insannya Tuhan: tiada bid’ah, tiada iman,

Insannya Tuhan tak tahu yang salah atau yang benar.

Lihat! Insannya Tuhan berkendara dari Bukan-Wujud,

Insannya Tuhan datang ke sini penuh kejayaan,

Insannya Tuhan tersembunyi, Syamsuddin!

Insannya Tuhan: Cari dan temukan dia, hati!

Maulana melukiskan manusia idealnya Tuhan. Syair tersebut memperlihatkan dirinya dengan jelas sekali, yang tidak terikat empat elemen yang membentuk dunia ciptaan ini, yang tinggal dalam ketenangan yang sempurna di alam Cinta yang abadi

Telah kau teguk anggur “Kelengahan”,

Dan jadilah kau murtad:

Bau busuk mulutmu membenarkan itu. (D 2261)

Ingin kuambil sendok yang penuh darah

Dari periuk ketel “Jiwa” (D 1691).

Manusia itu seperti periuk ketel atau kenceng (periuk besar), dan dari bau busuk yang disebarkan dari periuk tersebut dapat disimpulkan isi periuknya

Man mast tu diwana-kay barad mara khana

Aku minum dan kamu gila-siapa yang akan

Membawaku pulang?

Bukankah sudah kukatakan: Minumlah dua tiga gelas,

Jangan banyak-banyak”

Kemarin kami mabuk karena cawan,

Sekarang cawan mabuk karena kami (D RUB. No. 291)

Cermin tak bakal lagi jadi besi;

Minuman anggur tak bakal lagi

Jadi buah anggur masam. (M II 1317)

Kemabukan pada Ilahi itu jauh lebih tinggi dibanding pengaruh anggur materiil terhadap hati

Kekuatan jibril itu bukanlah dari dapur (M III 6f)

Kukatakan padanya: “Ini bulan Ramadhan,

siang hari lagi! Katanya: “Diam!

Karena anggur jiwa tidak membatalkan puasa

Jangan khawatir” (D 1214)

Duhai yang telah pergi berziarah

Diman dirimu, dimana, oh dimana?

Di sini, di sinilah Kekasih berada!

Mari, mari, oh mari!

Sahabatmu, dia itu disebelahmu,

Dia itu tersesat di gurun

Udara macam apa ini?

Bila dikau luhat bentuk Kekasih

Yang tidak berbentuk

Dikaulah rumah, guru,

Dikaulah Ka’bah, dikau! ....

Di manakah sekuntum bunga mawar,

Jika kamu kebun ini?

Di mana, esensi kemuliaan jiwa

Bila dikau Samudra Allah?

Memang namun kesulitanmu

Dapat berubah jadi kekayaan

Betapa sedihnya dikau sendiri menabiri

Kekayaanmu sendiri! (D 648)

Sang haji mencium batu hitam Ka’bah

Karena yang dipikirkan bibir Kekasih. (D 617)

Kezuhudan sayapnya patah,

Sedangkan penyesalan telah menyesal

Mana mungkin pencinta berkaitan

Dengan penyesalan?

Cinta itu bencana bagi tobat

Yang sekaligus menyiksanya

Apa yang harus dilakukan tobat

Dengan cinta yang menelan tobat? (D 1265)

Permulaan thariqah adalah tobat, tobat adalah keharusan berpaling dari dunia beserta kesenangan-kesenangannya ke nilai-nilai spiritual

Kesabaranku mati pada malam ketika Cinta lahir!

Tidak, itu salah! Karena kalau saja masih tersisa

Sedikit kesabaran pada diriku,

Berarti aku tak percaya pada cinta-Nya! (D 2908)

Kesabaranku selalu bilang; “Aku membawa

Kabar gembira tentang persatuan dari-Nya!”

Namun, rasa bersyukur selalu bilang: “Akulah pemilik

Kekayaan mahaluas yang berasal dari-Nya!” (D 2142)

Pelaut selalu berdiri di atas kekhawatiran

Dan harapan (D 395)

Adakah yang telah menaburkan benih harapan,

Lalu musim semi rahmat Tuhan

Tidak memberinya panen

Seratus kali lipat? (D 1253)

Menurut kaum sufi dan khususnya Rumi mencintai orang-orang yang “berpikiran baik tentang-Nya” dan akan memperlakukan mereka seperti yang mereka harapkan dari-Nya

Kamukah cahaya Zat Ilahi, atau kamu itu allahi?

Setiap jiwa yang sudah terdewakan (allahi)

Memasuki ruang rahasia raja

Ia itu ular; lalu jadi ikan, ia berasal dari debu,

Lalu menuju mata air kautsar di surga .... (D 538)

Allahi ini haruslah diterjemahkan sebagai “yang bersama Tuhan”, bersama Allah, sebutan untuk Tuhan dalam tradisi Islam-suatu paham yang sulit diterima, dalam syair lain Maulana menggunakan allahi sebagai istilah simpel untuk “menyatu dengan Tuhan”, sirna dalam Tuhan”

Cinta itu dari Adam.

Sedangkan akal baik itu dari setan! (M IV 1402)

Aku mati sebagai mineral, lalu jadi tanaman,

Aku mati sebagai tanaman, lalu jadi hewan,

Aku mati sebagai hewan, lalu jadi manusia.

Betapa takutnya aku,

Karena aku tak dapat sirna melalui mati!

Begitu aku mati sebagai manusia,

Jadilah aku malaikat, lalu kulepaskan

Kemalaikatanku,

Karena Bukan-Wujud (adam) berseru

Dengan suara seperti organ:

“Sesungguhnya kita milik-Nya, kepada-Nyalah kita

Kembali!” (QS Al-Baqarah [2:] 156) (M III 3901)

Apa yang dicari sang zahid? Rahmat-Mu.

Apa yang dicari sang pencinta?

Kepedihan (zahmat) dari-Mu.

Yang mati dalam jubah,

Yang ini hidup dalam kain kafan! (D 1804)

Duhai, kalau pohon bisa berkelana

Dan bergerak dengan kaki dan sayap!

Tentu ia akan menderita karena ayunan kapak

Juga akan merasakan pedihnya gergaji!

Karena kalau mentari tidak berkelana jauh

Menembus malam

Mana mungkin setiap pagi

Dunia akan cerah ceria?

Bila air samudra

Tidak naik langit,

Mana mungkin tumbuh-tumbuhan akan tersuburkan

Oleh irigasi dan hujan yang lembut?

Tetes air yang meningggalkan negerinya,

Samudra, dan lalu kembali

Mendapati tiram sedang menanti

Dan tumbuh menjadi mutiara.

Tidakkah Yusuf meninggalkan ayahnya,

Dalam sedih dan air mata dan putus asa?

Tidakkah lewat perjalanan itu

Dia memperoleh kerajaan dan kemenangan?

Tidakkah Nabi pergi

Ke Madinah yang jauh, sobat?

Di sana didapatinya kerajaan baru

Dan perintahnya seratus negeri.

Kalau tak punya kaki untuk berkelana,

berkelanalah ke dalam dirimu,

dan bak tambang batu delima

terima jejak sinar mentari!

Perjalanan seperti itu

Akan membawamu ke dirimu,

Mengubah debu menjadi emas murni!

Tinggalkan pahit dan cuka,

Pergilah ke manis!

Sebab air laut pun membuahkan

Seribu jenis buah.

Matahari Tabriz itulah

Yang menampilkan karya amat bagus itu,

Karena pohon jadi indah

Kala disentuh mentari.

Segenggam debu bilang: “Akulah kucir!”

Segenggam debu bilang: “Akulah tulang!”

Kamu akan bingung-tiba-tiba Cinta datang:

“Sini mendekatlah! Akulah Kehidupan abadi bagimu!” (D 1515)

Maulana menulis kalimat-kalimat yang menolak skeptikisme ‘Umar Khayyam dan mengajarkan kepada kita, seperti ibu rumah tangga memberikan pelajaran kepada sayur-mayur bahwa Cinta adalah ruh penggerak dan tujuan hidup:

*SHALAT: ANUGERAH ILAHI

Pada saat shalat isya

Semua orang menggelar kain dan lilin

Namun aku memimpikan kekasihku,

Menatap, sembari meratap dan sedih, isyaratnya

Dengan menangis, berarti aku melakukan wudhu,

Dan sholatku pun akan bergelora,

Lalu kubakar jalan masuk masjid

Ketika suara azanku berkumandang ....

Apakah aku shalat dua rakaat penuh?

Barangkali ini delapan?

Surah mana yang kubaca?

Karena aku tak punya lidah untuk membacanya.

Di pintu Tuhan-mana mungkin aku mengetuknya,

Karena kini aku tak punya tangan atau hati?

Tuhan, dikau telah membawa hati dan tangan!

Tuhan, anugerahi daku keselamatan,

Ampuni daku .... (D 2831)

Ka’bah untuk ruh

Dan Jibril: pohon Sidrah,

Kiblat pelahap:

Yaitu taplak meja.

Kiblat untuk ahli makrifat:

Cahaya persatuan dengan Tuhan.

Kiblat filsafat, nalar,

Adalah: pikiran kosong!

Kiblat sang zahid:

Tuhan Maha pemurah.

Kiblat si tamak:

Pundi-pundi berisi emas.

Kiblatnya mereka yang melihat

Makna sejati, adalah kesabaran.

Kiblat mereka yang hanya menyembah

Bentuk-bentuk: sosok batu.

Kiblatnya kaum esoteris

Yaitu Dia, Tuhan Rahmat.

Kiblatnya kaum eksoteris

Yaitu wajah wanita.... (M IV 1896)

Jika Dikau tak karuniakan jalan,

Ketahuilah bahwa jiwa pasti tersesat:

Jiwa yang hidup tanpa-Mu

Anggaplah itu mati!

Jika Dikau perlakukan dengan buruk

Hamba-hamba-Mu

Jika Dikau mencerca mereka, Tuhan,

Dikaulah Raja-tak soal

Apa pun yang Dikau lakukan

Dan jika Dikau menyebut matahari,

Rembulan indah itu “kotor”,

Dan jika Dikau katakan si “jahat”

Adakah rampingnya cemara nun di sana itu,

Dan jika Dikau katakan Takhta

Semua alam itu “rendah”,

Dan jika Dikau sebut lautan

Dan tambang emas “fakir lagi miskin”

Itu sah saja,

Sebab Dikaulah yang Mahasempurna:

Dikaulah satu-satunya yang mampu

Menyempurnakan segala yang fana! (M I 13899ff.)

Syair semacam itu mencerminkan sikap Maulana sendiri, ketakjubannya yang tak kunjung berhenti terhadap Tuhan Mahaperkasa.

Dia bilang: “Dikau telah beri aku hidup,

Dan beri aku banyak waktu,

Dikau amat murah hati kepada orang

Yang amat merendahkan diri, Tuhan!

Selama tujuh puluh tahun penuh

Di sini aku durhaka

Namun tidak Dikau tahan

Karunia-Mu sehari pun!

Kini aku tak dapat cari uang;

Aku sudah tua, aku tamu-Mu,

Akan kumainkan harpa untuk-Mu,

Sebab aku ini milik-Mu!”

Musa melihat seorang penggembala di jalan,

Katanya: “Duhai yang memilih orang

Yang Dikau kehendaki:

Di mana dikau, supaya aku menjadi hamba-Mu,

Supaya aku memperbaiki jubah-Mu

Dan menyisir rambut-Mu,

Supaya aku cuci pakaian-Mu, dan membunuh kutu-Mu,

Membawakan untuk-Mu susu, Duhai Yang Mahatinggi!

Mencium tangan indah-Mu, memijit kaki-Mu,

Supaya aku bersihkan kamar kecil-Mu

Pada saat akan tidur!

Kukurbankan semua kambingku untuk-Mu

Yang kurindukan dan memenuhi pikiranku,

Dengan penuh cinta!” (M II 1720ff.)

Ketika kamu berseru, “Ya Tuhan!”

Aku menyahut, “Aku di sini.”

Permohonanmu adalah pesan-Ku, sayang,

Dan semua upayamu untuk mendekatkan diri

Kepada-Ku

Tak lain adalah syarat bahwa Aku

Mendekatkan dirimu kepada-Ku.

Kepedihan dan upayamu yang penuh cinta:

Tanda-tanda rahmat-Ku!

Dalam setiap “Ya Tuhan!” ada seratus

“Di sinilah Wajah-Ku!” (M IV 189ff.)

Kalau tidak, mana mungkin bunga mawar tumbuh (M II 2442ff.)

Para nabi juga telah mengajarkan shalat. Adapun Nabi kita, yang jelas telah menunjukkan ibadah shalat ini, beliau bersabda, “Aku memiliki waktu bersama Tuhan di mana tidak ada ruang bagi seorang nabi utusan Tuhan maupun malaikat.” Dengan demikian, kita tahu bahwa jiwa shalat itu bukan saja bentuk ini, melainkan keterserapan dan hilangnya kesadaran, di mana semua bentuk lahiriah ini tetap berada di luar dan tidak ada tempat baginya. Jibril sekalipun, makhluk spiriual, tidak dapat masuk ke sana.

Diamlah, dan berjalanlah

Melalui kesunyian menuju ketiadaan,

Bila engkau sudah jadi ketiadaan,

Dirimu akan jadi pujian! (D 2628)

*MANIFESTASI CINTA

“Bagaimana keadaan sang pencinta?”

Tanya seorang lelaki.

Kujawab, “Jangan bertanya seperti itu, sobat:

Bila engkau seperti aku, tentu engkau akan tahu;

Ketika Dia memanggilmu,

Engkau pun akan memanggil-Nya!” (D 2733)

Suatu malam aku bertanya kepada Cinta: “Katakan,

Siapa sesungguhnya dirimu?”

Katanya: “Aku ini kehidupan abadi,

Aku memperbanyak kehidupan indah.”

Kataku: “Duhai yang diluar tempat,

Di manakah rumahmu?”

Katanya: “Aku ini bersama api hati,

Dan diluar mata yang basah,

Aku ini tukang cat; karena akulah setiap pipi

Berubah jadi berwarna kuning.

Akulah utusan yang ringan kaki,

Sedangkan pencinta adalah kuda kurusku.

Akulah merah padamnya bunga tulip,

Harganya barang itu,

Akulah manisnya ratapan, penyibak

Segala yang tertabiri .... (D 1402)

Duhai Cinta, siapa yang bentuknya lebih indah,

Engkau atau taman dan kebun apelmu? (D 2138)

Lewat Cintalah semua yang pahit akan jadi manis,

Lewat Cintalah semua tembaga akan menjadi emas.

Lewat cintalah semua endapan

Akan menjadi anggur murni;

Lewat Cintalah semua kesedihan akan jadi obat.

Lewat Cintalah si mati akan jadi obat.

Lewat cintalah raja jadi budak! (M II 1529f.)

Aku berkelana terus, aku melangkah dari

Akhir ke awal:

Dalam mimpi, gajah ini melihat gurun luas

Hindustanmu!

Mana mungkin mengukur samudramu

Dengan piring?

Kalau saja bumi dan gunung itu bukan pencinta,

Tentu rumput tak akan tumbuh dari dada mereka.... (D 2674)

Cinta itu api yang akan mengubahku jadi air,

Seandainya aku batu yang keras. (D 2785)

Di mata orang, itu disebut Cinta;

Namun di mataku, itu penderitaan (bala) jiwa! (D 2499)

Hanya si orang kasim “Dukacita”

Yang boleh memasuki ruang rahasia Cinta.

Ketika Cinta datang: “Engkau berikan jiwamu

Kepadaku?”

Kenapa tak engkau jawab saja: “Ya!”

Cinta seperri menara cahaya,

Di dalam menara itu: api!

Seperti burung-burung unta,

Jiwa-jiwa yang mengitari menara itu:

Makanan mereka, api yang sangat lezat! (D 2629)

Cinta itu samudra yang gelombangnya

Tak terlihat:

Air samudra itu api, sedangkan ombaknya mutiara. (D 1096)

Tak ada tabir bagi jiwa

Yang berada dalam tempat mandi

Hangat Cintanya;

Aku bukanlah lukisan di dinding pemandian

Kenapa tak kukoyak-koyak saja pakaianku

(dalam ekstasi penuh cinta)? (D 1433)

Betapa bahagia padang rumput

Yang ditumbuhi bunga mawar

Dan eglantine (nama tumbuhan)

Berkat air Cinta, tempat merumputnya rusa betina! (D 2392)

Ketika si pembawa-air “Cinta”

Berteriak dengan suara guntur,

Segera saja gurun

Akan penuh tetumbuhan! (D 1308)

Karena Cinta telah menangkap ujung (baju)-ku

Lalu menyeretnya seperti orang lapar

Memegangi ujung taplak meja.... (D 3073)

Orang yang jauh dari jaring Cinta

Adalah burung yang tidak bersayap!

Dunia akan jadi sesuap santapan

Kalau saja Cinta punya mulut (D 2435)

Menjadi darah, minum darah sendiri,

Duduk bersama anjing di pintu iman. (D 2102)

Cintamu, seekor singa hitam,

Menjadikan tulang-tulangku berantakan!

Akankah singa yang haus darah minum darah anjing?

Karena anak panah,

Hati ini jadi seperti punggung landak!

Kalau Cinta punya hati,

Tentu ia punya rasa kasihan! (D 1067)

Betapa bahagianya kota yang rajanya Cinta!

Di mana-mana orang berpesta pora,

Di jalan, dan juga di rumah,

Cinta mencopet dompetku.

Kataku: “Apa-apaan ini?”

Katanya: “Tidak cukupkah rahmatku

Yang tak terbatas itu bagimu?” (D 1830)

Dari anggur Cinta, Tuhan menciptaku!

Cinta jadi gemuk dan rupawan,

Akal berubah jadi kurus. (D 2190)

Kurusnya rembulan disebabkan kedekatannya

Dengan matahari. (D 2942)

Kalau untuk anak ayammu kamu bangun kandang,

Itu tak cocok buat unta, itu terlalu besar!

Kandang: tubuhmu, sedangkan anak ayam: akal

Cinta itu unta yang tinggi dan besar! (D 2937)

Mereka yang berakal

Menjauh dari bangkai semut

Karena hati-hati;

Para pencinta menginjak-nginjak naga

Seenaknya! (D 2366)

Berkat pekikan Cinta, penjara menjadi surga:

Tuan Keadilan Akal, mabuk di kursi hakim!

Mereka menghadap Profesor Akal guna bertanya:

“Kenapa dalam Islam

Terjadi kegaduhan mengerikan ini?”

Mufti Akal Pertama menjawab dengan fatwa:

“Inilah saat kebangkitan-dimanakah

(perbedaan antara) yang halal dan yang haram?”

Khatib “Cinta” masuk ke idgah

(tempat shalat) Persatuan

Dengan membawa pedang Dzulfiqar

Seraya berkata: “Maha Terpuji Raja

Yang menebarkan dari samudra

Tidak di mana-mana

Jiwa-jiwa laksana permata .... (D 202)

Cinta mengangkat gada,

Lalu memukulkannya pada kepala Akal.

Tanyaku: “Duhai Akal, di manakah engkau?”

Akal menjawab:

“Karena aku sudah menjadi air anggur,

Kenapa aku harus jadi buah anggur masam?” (D 2942)

Setiap pagi karena cinta padamu Akal ini menjadi gila,

Naik ke atap otak, lalu memainkan kecapi .... (D 2601)

Anjing yang penuh cinta

Lebih baik dibanding singa ugahari!

Singa langit (lambang leo) mencium cakarnya

Dengan bibir yang belum tersentuh bangkai. (D 1174)

Cinta masuk masjid, lalu katanya:

“Duhai guru dan pemandu,

Putuskan belenggu-belenggu eksistensi

Mengapa engkau masih saja

Terbelenggu sajadah?”

Cinta itu bebas dari sempitnya ceruk shalat. (D 355)

Kalau tak punya kaki,

Pencinta terbang dengan sayap prakeabadian;

Kalau tak ada kepala

Pencinta punya kepala-kepala lain! (D 594)

Tanyamu padaku: “Siapa kamu?”

Mana mungkin aku tahu?

“Dari mana? Dari keluarga mana?”

Mana mungkin kutahu?

Tanyamu padaku: “Kamu minum,

Mabuk

Karena anggur manis lagi keras apa?” Mana mungkin

Kutahu?

Kalau aku sendiri ini kamu,

Lantas, siapa kamu?

Apakah kamu ini, kamu itu?

Mana mungkin aku tahu? (D 1544)

Duhai Cinta yang terlalu besar

Euntuk berada di langit

Kenapa engkau dapat berada di dalam hatiku

Yang tertabiri?

Engkau masuk ke rumah hati,

Lalu menutup pintunya dari dalam,

Cerukku, gelasku, dan

“cahaya di atas Cahaya”ku (QS Al-Nur [24]: 35) (D 1460)

Barang siapa menjadi mangsa Cinta,

Mana mungkin dia menjadi mangsa kematian?

Pencinta itu aneh-semakin dibunuh,

Semakin hidup dalam Tuhan! (D 1075)

Mereka yang tahu kekuatan rahasia berputar-putar,

Hidup dalam Tuhan:

Cinta mematikan dan menghidupkan lagi mereka

Mereka tahu itu .... Allah Hu!

*MEREKA PUN MULAI MENARI

Aduhai dengar seruling buluh, betapa ia mengaduh

Dan betapa ia bertutur tentang pedihnya berpisah ....

Seperti Ali meniupkan napas

Ke kedalaman sumur. (D 2380)

Para pencinta, yang mengaduh seperti seruling buluh,

Dan Cinta seperti pemain seruling

Apa saja yang ditiupkan Cinta ini

Ke dalam Tubuh Seruling. (D 1936)

Bak Cintamu berlaku, sebagai musisi, maka aku harpa

Dan kadang biola, siang dan malam! (D 302)

Jibril menari,

Karena cinta pada keindahan Tuhan,

Jin paling hina, “ifrit, juga menari

Karena cinta kepada jin perempuan! (D 2763)

Bertepuk tangan, Akal Universal

Menari, bagian dari Keseluruhan.

Ketika Syamsi Tabriz menata alkitab Al-Quran “Hati,”

Tarian, tanda-tanda baca

Menjejak-jejakkan kakinya (D 2282)

Duhai mari, duhai mari! Dikaulah jiwa

Dari jiwanya yang berputar!

Duhai mari! Dikaulah Cypress yang tinggi

Di taman-taman bunga tarian berputar!

Duhai mari! Karena tak pernah

Dan tidak akan pernah ada yang seperti dikau!

Mari, yang sepertimu tak pernah melihat

Mata-merindu dari tarian berputar!

Duhai mari! Mata Air Matahari

Tersembunyi di bawah bayang-bayangmu!

Milikmu seribu bintang Venus

Di lelangit-melingkarnya tarian berputar!

Tarian berputar melantunkan pujianmu

Dan bersyukur dengan seratus lidah yang fasih:

Akan kucoba mengatakan satu, dua hal

Yang menerjemahkan bahasa tarian berputar.

Sebab bila engkau mulai menari

Kau tinggalkan kedua dunia ini

Sebab di luar kedua dunia ini ada

Alam semesta tarian yang berputar, yang berujung.

Atapnya tinggi,

Yaitu di alam ketujuh,

Jauh di luar atap ini berdiri

Tangga, tarian berputar.

Apa pun yang ada disana, itu hanya Dia,

Kakimu melangkah ke sana dalam tarian:

Ketahuilah, tarian berputar ini milikmu,

Dan dikau pun miliknya.

Bisa apa aku kalau Cinta datang

Mencengkeram leherku?

Kugapai ia, kudekatkan ke dadaku

Dan kuseret dalam tarian berputar!

Ketika butir-butir debu

Penuh cahaya mentari,

Mereka pun mulai menari, menari

Dan tak menngeluh dalam tarian berputar itu!

KEPUSTAKAAN

Ø Diwan-i Kabir, ed. Badi’uzzaman Furuzanfar, 10 vol. Teheran: University of Teheran, 1957-1976

Ø Fihi ma Fihi, ed. Badi’uzzaman Furuzanfar. Teheran: Amir Kabir, 1348/1969. Diterjemahkan oleh Arthur J. Arberry sebagai Discourses of Rumi. London: John Murray, 1961. Jerman: Von Allem und vom Einen, terjemahan Annemarie Schimmel. Munich: Diederichs, 1988.

Ø Matsnawi-yi Ma’nawi, ed. Reynold A. Nicholson, dengan terjemahan dan ulasan. 8 vol. London: Luzac, 1925-1940.

Ø Maktubat, ed. Faridun Nafiz Uzluk. Istanbul: Sebat, 1937.

Ø Selected Poems from the Diwan-i Syams-i Tabriz, terjemahan dan ed. Reynold A. Nicholson. Cambrigde: Cambridge University Press, 1898, cet. Ulang 1961. Sebuah seleksi yang amat bagus.

Karya-karya Lain

Ø Aflaki, Syamsuddin. Manaqib Al-Arifin, ed. Tuhsin Yazici. 2 vol. Ankara: Turki Tarih Kurumu, 1959-1961.

Ø Arberry, Arthur J. The Rubaiyyat of Jalal Ad-Din Rumi. London: E. Walker, 1949. Tales from the Matsnavi. London: George Allen and Unwin, 1968. More Tales from the Matsnavi. London: George Allen and Unwin, 1968. Mystical Poems of Rumi: First Selection, syair 1-200, Chicago: University of Chicago Press, 1968, Second Selection, syair 201-400. Boulder, Colo,: Westview Press, 1979.

Ø Baha’uddin Walad. Ma’arif. Ed. Badi’uzzaman Furuzanfar. Ed. 2 Teheran, 1353/1974.

Ø Chelkowski, Peter J., ed. The Scholar and the Saint. New York: New York University Press, 1975.

Ø Chittick, Willam C. The Sufi Path of Love. Albany: SUNY Press, 1983.

Ø Friedlander, Syams. The Whirling Dervishes. New York: 1975,1991.

Ø Golpinarli, Abdulbaki. Mevlana Celaladdin. Hayati,felsefesi, eserlerinden seclemer. Istanbul: Varlik, 1952.

Ø Hastie, William. The Festival of Spring from the Divon of Jalal ed-Din. Glasgow: James Machlehose & Sons, 1903.

Ø Iqbal, Afzal. The Life and Work of Muhammad Jalal ud-Din Rumi. Ed. 3 Lahore: institute of Islamic Culture, 1974.

Ø Khalifa Abdul Hakim, The Metaphysics of Rumi, Lahore: Ashraf, 1933. 1948.

Ø Meier, Fritz. Baha’i Walad. Acta Iranica 27. Leiden: Brill, 1989.

Ø Mole, Marijan. La Danse extatique en Islam. Sources Orientales vi. Paris: Editions du Seuil, 1963.

Ø Nicholson, Reynold Alleyne. Rumi:Poet and Mystic.London: George Allen and Unwin, 1950.

Ø Onder, Mehmet, Mevlana Bibliografyasi: I Basmalar; 2 Yasmalar. Ankara: Is Bankasi, 1973, 1975.

Ø Ritter, Hellmut. “Maulana Galaluddin Rumi and sein Kreis: Philologika XI. “Der Islam 26 (1942): 116-158,221-249. “Die Mevlanafier in Konya vom 11-17 Dezember 1960.” Oriens 15 (1962): 249-270.

Ø Sabagh, Georges, ed. The Heritage of Rumi: Proceedings of the Eleventh Levi della Vida Conference. Cambridge: Cambrigde University Press.

Ø Schimmel, Annemarie. The Triumphal Sun: A Study of the Life and Works fo Mowlana Jalaloddin Rumi. London & The Haque: East-West Publications, 1978,1980. As through a Veil: Mystical Poetry in Islam. New York: Columbia University of North Carolina Press, 1975. Ed. Gulduste, koleksi paper mengenai Rumi. Konya, 1971.

Ø Sipahsalar, Faridun.Risalah dan Ahwal-i Maulana Jalaluddin Rumi, ed. Badi’uzzaman Furuzanfar. Teheran, 1325/1936.

Ø Whinfield, H. Matsnawi-i Manawi: Spiritual Couplets (1881). Terjemahan dan ringkasan. London: Octagon Press, 1973.