ओलेह सेबयु: व्व्व.गोसितिएस.com
Tasawuf Bukanlah Sufisme
Tasawuf serta sufisme terlihat merebak akhir-akhir ini di indonesia, namun bila kita amati dengan lebih seksama akan kita dapati kerancuan dalam pemahaman terhadap arti tasawuf dan arti sufisme yang di anggap sama, juga terdapat kerancuan terhadap arti sufistik, sufisme, filsuf, filosofi dlsb.
Oleh karena itu marilah kita cermati apa dan bagaimana sebenarnya tasawuf dan sufisme serta dimana letak perbedaanya.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Nabi SAW. berkata bahwa umur umatku tidak jauh dari umurku, sedangkan pada saat wafat Nabi SAW. adalah berusia 63 tahun, sehingga hal tersebut mengisyaratkan bahwa umur umat Muhammad SAW. berkisar di sekitar 63 tahun saja, sehingga bila ada yg berusia hingga 70-90 tahun merupakan hadiah atau tambahan kesempatan untuk menambah amal ataupun untuk bertobat bagi yang masih berasyik-asyik dengan dunia, disamping itu terdapat pula pendapat yang menyatakan pembagian tiga terhadap standar usia 63 tahun tersebut menjadi tiga bagian yang masing-masing terdiri dari 21 tahun, ketiga bagian tersebut diterangkan sebagaimana berikut ini:
21 tahun pertama adalah Syariat.
21 tahun kedua adalah Hakikat.
21 tahun ketiga adalah Marifat.
Jadi idealnya dalam kehidupan umat islam seharusnya 21 tahun pertama adalah saat untuk berlomba-lomba mengumpulkan ilmu yang bermanfaat yaitu ilmu pembeda salah dan benar atau gelap dan terang, serta di tambah ilmu pengetahuan umum yang berguna untuk menunjang modal kehidupan.
Sedangkan 21 tahun kedua adalah saat untuk pencarian kebenaran atau pembuktian dari semua ilmu yang telah didapatkan tersebut diatas, seyogyanya pencarian kebenaran tidaklah menjadikan terhentinya pencarian atau penambahan ilmu, sebab kita senantiasa harus terus belajar dan menambah ilmu selama kematian belumlah menjeput.
21 tahun ketiga baik lebih maupun kurang adalah saat setelah teruji kebenaran dari ilmu yang didapat tersebut, menjadi saat keemasan kehidupan ruhaniah seseorang yang secara umum dapat dikatakan memasuki usia kebijakan (kurang lebih dimulai pada usia 43-50 tahun), yang secara sisi ruhaniah menjadi masa pengenalan terhadap Allah sebagai pemilik segala ilmu serta segala sesuatu yg terkait kepada ilmu tersebut, yang mana keterkaitan tersebut dapat diartikan sebagai pembuatan, sebagaimana Allah dengan ilmunya telah membuat atau menciptakan alam semesta beserta isinya dan yang termasuk didalamnya adalah manusia, yaitu kita.
Dengan demikian maka menjadi jelaslah bahwa kita hanya dapat mengenal dan merasakan keberadaan Allah dengan pengenalan akan kebenaran ilmu serta segala ciptaan Nya, sedangkan kebenaran ilmu Allah kiranya hanya bisa kita dapatkan dari hikmah kehidupan dengan berbekal atau bermodalkan sabar serta tawadhu.
Setelah mengamati ulasan kehidupan yg panjang dan berbelit tersebut di atas maka sampailah kita pada pengenalan dari arti tasawuf yang merupakan ilmu marifat atau ilmu pengenalan terhadap Allah, sedangkan sufisme adalah isme atau dapat juga dikatakan sebagai ilmu untuk menjalani kehidupan sufistik seorang sufi, yang mana diketahui bahwa akhir dari kesufian adalah awal dari kenabian, yang tentu saja menjadikan kesufian dapat di artikan pencarian kesucian yang tertinggi yang menjadi dasar atau awal kenabian, demikianlah bahwa akhir kesufian hanyalah awal kenabian menjadikan setinggi-tinggi nya tingkat kesufian tidaklah dapat mencapai tingkat kenabian.
Sekarang tentunya telah menjadi lebih teranglah perbedaan antara tasawuf dengan sufisme, walaupun sangatlah jelas bahwa sufisme adalah salah satu ilmu atau cara menjalani tasawuf bagi para sufi, sedangkan tasawuf itu sendiri dapat dipelajari atau di amalkan siapa saja yang ingin mencapai tingkat marifatullah dengan cara mencari bukti-bukti kebenaran dari ilmu serta segala sesuatu ciptaan Allah atau yang dikenal dengan merenung sesaat yang dapat menghasilkan pemahaman akan kebenaran ilmu-ilmu Allah dengan imbalan 1000 rakaat shalat, juga dapat dicapai dengan cara mencari hikmah dari setiap permasalahan dalam kehidupan pribadi maupun orang lain dengan berbekal sabar, tawadhu, prasangka baik pada Allah sesuai dengan janji-janji serta ketetapan Allah pada hambanya.
Sedangkan pada kasus kerancuan yang terjadi akibat fisafat islam yang menjadi bahasa umum para sufi yang sedemikian sulit untuk dimengerti orang awam adalah penyebab para sufi di anggap orang yang tidak normal dengan segala cerita keanehan-keanehan kehidupan mereka yang sebetulnya di ceritakan oleh para penganut sufisme dalam bahasa filsafat yang tentu saja tidak mudah dimengerti atau di pahami kecuali bagi mereka yang sudah terbiasa mendengar istilah-istilah serta kata-kata kiasan yang menyerupai syair atau puisi, atau untuk mudahnya kita harus berfikir untuk mengartikan sebuah kata kias, syair ataupun puisi, sudah barang tentu akan jauh lebih sulit lagi bila kata kias, syair atau puisi itu memakai bahasa fisafat pula, tentu saja akan menjadi sangat rumit untuk mengerti artinya, apalagi untuk menghayatinya.
Sebagai contoh, ada seorang sufi yang pada saat itu terjadi perbantah-bantahan didalam hatinya sedangkan ia sedang berjalan di gurun pasir, sehingga ia berjalan terus di gurun pasir tersebut selama satu tahun tanpa makan dan minum, juga ada seorang sufi yang sedang berpuasa, lalu saat ia sedang menolong seseorang untuk memperbaiki atap rumah ketika ia berada di ujung tangga, si empunya rumah menyuguhkan makanan dan minuman yg terlihat enak dan segar dikarenakan ia sedang berpuasa, sehingga terjadilah juga perbantah-bantahan didalam hatinya sehingga satu tahun atau dua tahun ia berada di atas tangga tersebut, kedua cerita tersebut diatas seakan-akan menceritakan kehebatan atau terlihat begitu saktinya seorang sufi yang mengakibatkan perbedaan pendapat bagi pembaca atau pendengar cerita tersebut, bagi orang yang tertarik supranatural tentu saja ingin mempelajari ilmu kesufian tersebut agar dapat menjadi hebat atau sakti sebagaimana sang sufi yg ia bayangkan kehebatannya, dilain fihak bagi orang yang tidak percaya atau kurang percaya akan hal supranatural atau klenik menjadikan mereka memandang cerita tersebut sebagai suatu kebohongan yang sangat besar, sehingga menjadikan ia memandang sang sufi dan para sufi sebagai pembohong besar.
Disinilah letak kerancuan pendapat awam dalam mengartikan cerita yang di sajikan sebagai cerita, kata kias, syair atau puisi dengan memakai bahasa fisafat islam yang tentu saja sulit untuk dimengerti begitu saja, walaupun sebenarnya dapat saja secara sederhana dicarikan perumpamaannya dalam kehidupan keseharian kita, misalnya kita mempunyai kenalan, baik itu di kantor maupun di mana saja tempat yang sering kita bertemu dengannya sedangkan orang tersebut selalu membuat kita jengkel karena entah itu kelakuannya ataupun cara berbicaranya yang selalu menjengkelkan kita, yang tentu saja semua itu berjalan dalam waktu yang cukup lama ataupun lama sekali akan menjadi ganjalan di hati kita sehingga baru berakhir bila orang tersebut tidak menjengkelkan lagi atau orang tersebut tidak disana lagi atau kita yang sudah tidak disana lagi, tentu saja kita tidak dapat memprediksi berapa lama ganjalan tersebut akan mengganggu kita bisa satu minggu, satu bulan, satu tahun bahkan mungkin saja sepuluh tahun, ganjalan di hati kita tersebut dapat kita perumpamakan sebagai perbantah-bantahan yang terjadi di hati sang sufi tersebut, tentu saja baik kita maupun sang sufi tersebut, secara kenyataannya tidak berdiam di tempat tersebut atau pun berhadapan dengan orang tersebut selama waktu masih terjadi ganjalan atau selama terjadi perbantah-bantahan tersebut, melainkan baik kita maupun sang sufi tersebut tetap melaksanakan kegiatan kita sehari-hari seperti biasanya, walaupun ada ganjalan di hati kita maupun perbantah-bantahan di hati sang sufi tersebut.
Memandang kasus tersebut di atas maka menjadi jelaslah bagi kita, bahwa sebenarnya tidaklah ada suatu keanehan dalam kehidupan seorang sufi, melainkan sama saja dengan kehidupan kita sehari-hari, yang berbeda hanya masalah cara hidup saja, kehidupan seorang sufi, sama saja dengan seorang guru agama (ustadz), da'i atau ulama secara umum, hanya saja biasanya mereka berusaha untuk selalu menjaga pandang, wudlu juga fikirannya, demi tercapainnya kesucian tertinggi yang dapat dicapai manusia.
Dengan demikian, maka baik ganjalan hati ataupun perbantah-bantahan hati hanyalah suatu bentuk kemacetan , stuck atau terhentinya salah satu proses ruhaniah kita dalam jangka waktu tertentu, yang di perumpamakan seakan-akan waktu terhenti sedangkan diri tetap berjalan atau diri terhenti sedangkan waktu terus berjalan, dan lain sebagainya perumpamaan.
Mungkin contoh kematian yang secara umum ditakuti dapat menjadi contoh yang lebih mudah dimengerti, misalkan pada suatu sore hari, kita sedang memotong rumput di halaman rumah, selagi asyik memotong rumput tiba-tiba kita teringat akan kematian yang sangat menyakitkan sakratul mautnya sehingga kita menjadi takut akan kematian yang pasti datang itu, maka selama kita takut akan kematian tersebut selama itulah pengetahuan ruhanian tentang kematian kita terhenti, seakan-akan bila ingat soal kematian kita ingat saat pertamakali takut itu datang di taman rumah kita tersebut, walaupun keruhanian kita selain tentang kematian terus berjalan, baik itu belajar agama ataupun segala peribadahan kita tetap berjalan seperti biasanya, juga kegiatan kita sehari-hari tetap berjalan normal seperti biasanya, namun selama kita masih takut akan kematian tersebut, selama itu pula pemikiran kita tentang kematian tetap tertahan di taman tersebut, sehingga waktu seakan-akan berhenti untuk masalah kematian tersebut, walaupun kegiatan kita berjalan normal seperti biasanya, pada suatu hari, tiga tahun setelah masalah di taman itu, bertemulah kita dengan seseorang yang memberi tahukan bahwa tiada rasa sakit, walaupun hanya sebiji zarah kecuali akan ditambahkan kemuliaan baginya, sehingga dengan pengetahuan ini kita menyadari bahwa sakratul maut yang super sakit itu dapat ditukarkan menjadi super mulia, yang merupakan kesempatan terakhir atau tambahan yang sangat menguntungkan, yang diberikan Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang kepada hambanya, berkah ini tentu saja menghapus ketakutan kita kepada sakratul maut, sehingga kematian bukan lagi merupakan hal yang menakutkan, dengan demikian hilanglah sudah kemacetan ruhaniah akan kematian tersebut, setelah tiga tahun membebani kita, kejadian tersebut dapat diperumpamakan semenjak sore tersebut kita terus mencabuti rumput selama tiga tahun tanpa makan dan minum, tanpa makan dan minum ini dapat diartikan selama tiga tahun kita tidak mendapatkan jalan keluar dari masalah ketakutan tersebut.
Tentu saja jika kita menceriterakan kepada banyak orang, bahwa kita mencabuti rumput tanpa makan dan minum selama tiga tahun dikarenakan takut akan kematian, diantara mereka akan ada yang mengatakan kita pembohong besar, sedangkan diantara yang lainnya ada yang akan menganggap kita orang yang sangat sakti, padahal kita hanya orang biasa saja.
Tasawuf serta sufisme terlihat merebak akhir-akhir ini di indonesia, namun bila kita amati dengan lebih seksama akan kita dapati kerancuan dalam pemahaman terhadap arti tasawuf dan arti sufisme yang di anggap sama, juga terdapat kerancuan terhadap arti sufistik, sufisme, filsuf, filosofi dlsb.
Oleh karena itu marilah kita cermati apa dan bagaimana sebenarnya tasawuf dan sufisme serta dimana letak perbedaanya.
Sebagaimana kita ketahui bahwa Nabi SAW. berkata bahwa umur umatku tidak jauh dari umurku, sedangkan pada saat wafat Nabi SAW. adalah berusia 63 tahun, sehingga hal tersebut mengisyaratkan bahwa umur umat Muhammad SAW. berkisar di sekitar 63 tahun saja, sehingga bila ada yg berusia hingga 70-90 tahun merupakan hadiah atau tambahan kesempatan untuk menambah amal ataupun untuk bertobat bagi yang masih berasyik-asyik dengan dunia, disamping itu terdapat pula pendapat yang menyatakan pembagian tiga terhadap standar usia 63 tahun tersebut menjadi tiga bagian yang masing-masing terdiri dari 21 tahun, ketiga bagian tersebut diterangkan sebagaimana berikut ini:
21 tahun pertama adalah Syariat.
21 tahun kedua adalah Hakikat.
21 tahun ketiga adalah Marifat.
Jadi idealnya dalam kehidupan umat islam seharusnya 21 tahun pertama adalah saat untuk berlomba-lomba mengumpulkan ilmu yang bermanfaat yaitu ilmu pembeda salah dan benar atau gelap dan terang, serta di tambah ilmu pengetahuan umum yang berguna untuk menunjang modal kehidupan.
Sedangkan 21 tahun kedua adalah saat untuk pencarian kebenaran atau pembuktian dari semua ilmu yang telah didapatkan tersebut diatas, seyogyanya pencarian kebenaran tidaklah menjadikan terhentinya pencarian atau penambahan ilmu, sebab kita senantiasa harus terus belajar dan menambah ilmu selama kematian belumlah menjeput.
21 tahun ketiga baik lebih maupun kurang adalah saat setelah teruji kebenaran dari ilmu yang didapat tersebut, menjadi saat keemasan kehidupan ruhaniah seseorang yang secara umum dapat dikatakan memasuki usia kebijakan (kurang lebih dimulai pada usia 43-50 tahun), yang secara sisi ruhaniah menjadi masa pengenalan terhadap Allah sebagai pemilik segala ilmu serta segala sesuatu yg terkait kepada ilmu tersebut, yang mana keterkaitan tersebut dapat diartikan sebagai pembuatan, sebagaimana Allah dengan ilmunya telah membuat atau menciptakan alam semesta beserta isinya dan yang termasuk didalamnya adalah manusia, yaitu kita.
Dengan demikian maka menjadi jelaslah bahwa kita hanya dapat mengenal dan merasakan keberadaan Allah dengan pengenalan akan kebenaran ilmu serta segala ciptaan Nya, sedangkan kebenaran ilmu Allah kiranya hanya bisa kita dapatkan dari hikmah kehidupan dengan berbekal atau bermodalkan sabar serta tawadhu.
Setelah mengamati ulasan kehidupan yg panjang dan berbelit tersebut di atas maka sampailah kita pada pengenalan dari arti tasawuf yang merupakan ilmu marifat atau ilmu pengenalan terhadap Allah, sedangkan sufisme adalah isme atau dapat juga dikatakan sebagai ilmu untuk menjalani kehidupan sufistik seorang sufi, yang mana diketahui bahwa akhir dari kesufian adalah awal dari kenabian, yang tentu saja menjadikan kesufian dapat di artikan pencarian kesucian yang tertinggi yang menjadi dasar atau awal kenabian, demikianlah bahwa akhir kesufian hanyalah awal kenabian menjadikan setinggi-tinggi nya tingkat kesufian tidaklah dapat mencapai tingkat kenabian.
Sekarang tentunya telah menjadi lebih teranglah perbedaan antara tasawuf dengan sufisme, walaupun sangatlah jelas bahwa sufisme adalah salah satu ilmu atau cara menjalani tasawuf bagi para sufi, sedangkan tasawuf itu sendiri dapat dipelajari atau di amalkan siapa saja yang ingin mencapai tingkat marifatullah dengan cara mencari bukti-bukti kebenaran dari ilmu serta segala sesuatu ciptaan Allah atau yang dikenal dengan merenung sesaat yang dapat menghasilkan pemahaman akan kebenaran ilmu-ilmu Allah dengan imbalan 1000 rakaat shalat, juga dapat dicapai dengan cara mencari hikmah dari setiap permasalahan dalam kehidupan pribadi maupun orang lain dengan berbekal sabar, tawadhu, prasangka baik pada Allah sesuai dengan janji-janji serta ketetapan Allah pada hambanya.
Sedangkan pada kasus kerancuan yang terjadi akibat fisafat islam yang menjadi bahasa umum para sufi yang sedemikian sulit untuk dimengerti orang awam adalah penyebab para sufi di anggap orang yang tidak normal dengan segala cerita keanehan-keanehan kehidupan mereka yang sebetulnya di ceritakan oleh para penganut sufisme dalam bahasa filsafat yang tentu saja tidak mudah dimengerti atau di pahami kecuali bagi mereka yang sudah terbiasa mendengar istilah-istilah serta kata-kata kiasan yang menyerupai syair atau puisi, atau untuk mudahnya kita harus berfikir untuk mengartikan sebuah kata kias, syair ataupun puisi, sudah barang tentu akan jauh lebih sulit lagi bila kata kias, syair atau puisi itu memakai bahasa fisafat pula, tentu saja akan menjadi sangat rumit untuk mengerti artinya, apalagi untuk menghayatinya.
Sebagai contoh, ada seorang sufi yang pada saat itu terjadi perbantah-bantahan didalam hatinya sedangkan ia sedang berjalan di gurun pasir, sehingga ia berjalan terus di gurun pasir tersebut selama satu tahun tanpa makan dan minum, juga ada seorang sufi yang sedang berpuasa, lalu saat ia sedang menolong seseorang untuk memperbaiki atap rumah ketika ia berada di ujung tangga, si empunya rumah menyuguhkan makanan dan minuman yg terlihat enak dan segar dikarenakan ia sedang berpuasa, sehingga terjadilah juga perbantah-bantahan didalam hatinya sehingga satu tahun atau dua tahun ia berada di atas tangga tersebut, kedua cerita tersebut diatas seakan-akan menceritakan kehebatan atau terlihat begitu saktinya seorang sufi yang mengakibatkan perbedaan pendapat bagi pembaca atau pendengar cerita tersebut, bagi orang yang tertarik supranatural tentu saja ingin mempelajari ilmu kesufian tersebut agar dapat menjadi hebat atau sakti sebagaimana sang sufi yg ia bayangkan kehebatannya, dilain fihak bagi orang yang tidak percaya atau kurang percaya akan hal supranatural atau klenik menjadikan mereka memandang cerita tersebut sebagai suatu kebohongan yang sangat besar, sehingga menjadikan ia memandang sang sufi dan para sufi sebagai pembohong besar.
Disinilah letak kerancuan pendapat awam dalam mengartikan cerita yang di sajikan sebagai cerita, kata kias, syair atau puisi dengan memakai bahasa fisafat islam yang tentu saja sulit untuk dimengerti begitu saja, walaupun sebenarnya dapat saja secara sederhana dicarikan perumpamaannya dalam kehidupan keseharian kita, misalnya kita mempunyai kenalan, baik itu di kantor maupun di mana saja tempat yang sering kita bertemu dengannya sedangkan orang tersebut selalu membuat kita jengkel karena entah itu kelakuannya ataupun cara berbicaranya yang selalu menjengkelkan kita, yang tentu saja semua itu berjalan dalam waktu yang cukup lama ataupun lama sekali akan menjadi ganjalan di hati kita sehingga baru berakhir bila orang tersebut tidak menjengkelkan lagi atau orang tersebut tidak disana lagi atau kita yang sudah tidak disana lagi, tentu saja kita tidak dapat memprediksi berapa lama ganjalan tersebut akan mengganggu kita bisa satu minggu, satu bulan, satu tahun bahkan mungkin saja sepuluh tahun, ganjalan di hati kita tersebut dapat kita perumpamakan sebagai perbantah-bantahan yang terjadi di hati sang sufi tersebut, tentu saja baik kita maupun sang sufi tersebut, secara kenyataannya tidak berdiam di tempat tersebut atau pun berhadapan dengan orang tersebut selama waktu masih terjadi ganjalan atau selama terjadi perbantah-bantahan tersebut, melainkan baik kita maupun sang sufi tersebut tetap melaksanakan kegiatan kita sehari-hari seperti biasanya, walaupun ada ganjalan di hati kita maupun perbantah-bantahan di hati sang sufi tersebut.
Memandang kasus tersebut di atas maka menjadi jelaslah bagi kita, bahwa sebenarnya tidaklah ada suatu keanehan dalam kehidupan seorang sufi, melainkan sama saja dengan kehidupan kita sehari-hari, yang berbeda hanya masalah cara hidup saja, kehidupan seorang sufi, sama saja dengan seorang guru agama (ustadz), da'i atau ulama secara umum, hanya saja biasanya mereka berusaha untuk selalu menjaga pandang, wudlu juga fikirannya, demi tercapainnya kesucian tertinggi yang dapat dicapai manusia.
Dengan demikian, maka baik ganjalan hati ataupun perbantah-bantahan hati hanyalah suatu bentuk kemacetan , stuck atau terhentinya salah satu proses ruhaniah kita dalam jangka waktu tertentu, yang di perumpamakan seakan-akan waktu terhenti sedangkan diri tetap berjalan atau diri terhenti sedangkan waktu terus berjalan, dan lain sebagainya perumpamaan.
Mungkin contoh kematian yang secara umum ditakuti dapat menjadi contoh yang lebih mudah dimengerti, misalkan pada suatu sore hari, kita sedang memotong rumput di halaman rumah, selagi asyik memotong rumput tiba-tiba kita teringat akan kematian yang sangat menyakitkan sakratul mautnya sehingga kita menjadi takut akan kematian yang pasti datang itu, maka selama kita takut akan kematian tersebut selama itulah pengetahuan ruhanian tentang kematian kita terhenti, seakan-akan bila ingat soal kematian kita ingat saat pertamakali takut itu datang di taman rumah kita tersebut, walaupun keruhanian kita selain tentang kematian terus berjalan, baik itu belajar agama ataupun segala peribadahan kita tetap berjalan seperti biasanya, juga kegiatan kita sehari-hari tetap berjalan normal seperti biasanya, namun selama kita masih takut akan kematian tersebut, selama itu pula pemikiran kita tentang kematian tetap tertahan di taman tersebut, sehingga waktu seakan-akan berhenti untuk masalah kematian tersebut, walaupun kegiatan kita berjalan normal seperti biasanya, pada suatu hari, tiga tahun setelah masalah di taman itu, bertemulah kita dengan seseorang yang memberi tahukan bahwa tiada rasa sakit, walaupun hanya sebiji zarah kecuali akan ditambahkan kemuliaan baginya, sehingga dengan pengetahuan ini kita menyadari bahwa sakratul maut yang super sakit itu dapat ditukarkan menjadi super mulia, yang merupakan kesempatan terakhir atau tambahan yang sangat menguntungkan, yang diberikan Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang kepada hambanya, berkah ini tentu saja menghapus ketakutan kita kepada sakratul maut, sehingga kematian bukan lagi merupakan hal yang menakutkan, dengan demikian hilanglah sudah kemacetan ruhaniah akan kematian tersebut, setelah tiga tahun membebani kita, kejadian tersebut dapat diperumpamakan semenjak sore tersebut kita terus mencabuti rumput selama tiga tahun tanpa makan dan minum, tanpa makan dan minum ini dapat diartikan selama tiga tahun kita tidak mendapatkan jalan keluar dari masalah ketakutan tersebut.
Tentu saja jika kita menceriterakan kepada banyak orang, bahwa kita mencabuti rumput tanpa makan dan minum selama tiga tahun dikarenakan takut akan kematian, diantara mereka akan ada yang mengatakan kita pembohong besar, sedangkan diantara yang lainnya ada yang akan menganggap kita orang yang sangat sakti, padahal kita hanya orang biasa saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar